Saturday, July 12, 2025

The Republic by Plato

There are books that speak plainly, others that argue, and then there are books that echo. The Republic by Plato does more than echo, it rings like a bell through the centuries, with each generation hearing its own questions and worries in the sound. To read it is to converse with one of the greatest minds to ever walk the earth. But more than that, it is to sit in a timeless court where the soul is on trial, where justice is not merely debated, but stripped naked, examined, reassembled, and exalted.

At first glance, it is a dialogue about justice. But justice here is not limited to law or punishment; Plato is after something deeper. What is justice in a person? In a society? How do we structure a life, or a state, that honors the good, the noble, the true? Socrates, Plato’s enduring voice and hero, pulls us along with questions, always questions: unrelenting, precise, frustrating in their clarity. And through this relentless questioning, the reader begins to sense a shift within: a quiet invitation to doubt what we thought we knew.

What makes this book so enduring is not that it gives answers, but that it forces the reader to confront their own assumptions. As Socrates debates with Glaucon, Adeimantus, and others, the city-state they build: the kallipolis becomes a mirror. Every structure, every class, every policy is built with a purpose: to reflect a well-ordered soul. The city is not just a metaphor. It is a map of the inner world. Plato is, quite literally, designing a republic inside you.

In this imagined city, people are divided into producers, auxiliaries, and guardians. The rulers, philosopher-kings, are chosen not for wealth or popularity, but for wisdom, discipline, and their capacity to love the truth. It is here that Plato makes one of his most provocative claims, that only philosophers, those who see beyond appearances, who love the Form of the Good, should rule. To the modern ear, this may sound elitist. But what Plato offers is not tyranny by scholars, but governance by those least likely to be corrupted by power.

Perhaps the most haunting section is the Allegory of the Cave, a philosophical parable that feels more like poetry. It speaks to anyone who has ever struggled to free themselves from ignorance or confronted uncomfortable truths. We are the prisoners, Plato says, chained to the wall, mistaking shadows for reality. The philosopher is the one who breaks free, sees the sun, and returns to rescue others. But the tragedy? The prisoners may kill him for it. This single allegory is enough to make The Republic worth reading.

But Plato does not just speak to the mind, he stirs the conscience. He warns of what happens when society prizes appearance over substance, pleasure over discipline, or individual desire over communal good. Democracies, he says, can decay into chaos if freedom is misunderstood as the right to indulge every whim. Tyrannies are born not from strength, but from the collapse of self-control. These warnings feel eerily modern. Our politics, media, and even personal lives often mirror the decline Plato describes.

And yet, despite its austere architecture, The Republic holds surprising tenderness. It touches on music, on education, on the role of women, even on the immortality of the soul. Plato insists that the soul’s health matters more than wealth or pleasure. He likens the unjust person to a city at war with itself: noisy, divided, exhausted. The just person, however, is like a well-tuned instrument: harmonious, steady, at peace. Is that not what we all seek? Not just to do right, but to be right, inwardly ordered, grounded in meaning?

As the dialogue winds down, Plato offers the Myth of Er, a strange tale of souls choosing their next lives after death. It feels mythological, yes, but also deeply psychological. The choices we make today, Plato suggests, echo beyond death. We shape our souls with every act of justice or injustice. Even now, in a world obsessed with speed and surface, that message lands with quiet power: you are crafting who you are becoming.

For all its seriousness, The Republic is not a cold book. It is rigorous, yes, but it burns with longing: for wisdom, for order, for a life that is not wasted. There is beauty in its ambition. Plato is not content to describe the world. He dares to reimagine it. And in doing so, he asks us to do the same.

There is no denying that the text can be dense. It requires patience, especially for readers new to philosophy. But the rewards are immense. You emerge from it changed, like someone who has traveled through a difficult country only to find themselves stronger, clearer, and strangely more whole.

It is not a book to be read once. It is a companion for life, one you return to at different seasons, hearing new wisdom each time. It challenges, yes. It even offends. But it also heals, confronts, and uplifts. It demands that you think not just about what kind of world you want to live in, but what kind of soul you want to inhabit.

To read The Republic is to face yourself. It is to sit in judgment not of others, but of your own integrity. And in that judgment, to find a quiet call toward betterment, toward justice not as law, but as harmony between what you know, what you believe, and how you live.

In our fractured world, full of distractions and dissonance, this book reminds us that clarity is possible. That justice is not dead. That philosophy, when rightly practiced, is not distant or dry, but deeply human.

Plato’s The Republic may have been written over two thousand years ago, but its questions are still ours. It is not just a work of philosophy. It is a work of the heart. Read it not to agree, but to awaken. And once awakened, let it disturb you, humble you, and draw you closer to the life that is truly worth living.

Sunday, April 6, 2025

UBI JALAR LEMBAH BALIM "1 SEHAT 1 SEMPURNA"




"Historis, Fitokimia, dan Manfaat Bagi Kesehatan Menuju Kedaulatan Pangan Rakyat Papua" 

HARI INI SAYA DAPAT KIRIMAN BUKU LANGKAH YANG DITULIS SAHABATKU Dokter BENYAMIN LAGOWAN (Lagowan Chegelian ) dengan KATA PENGANTAR dan tulisan di SAMPUL BELAKANG, sebagai berikut....... 


KATA PENGANTAR

Dr. Arius Togodly, M.Pd

Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Cenderawasih

Pertama saya mengucapkan terima kasih kepada penulis buku ini atas kepercayaan yang diberikan pada saya untuk memberi kata pengantar dalam buku berjudul: "Ubi Jalar Lembah Balim 1 Sehat 1 Sempurna: Historis, Fitokimia dan Manfaat bagi Kesehatan Menuju Kedaulatan Pangan Rakyat Papua" ini. Saya mengapresiasi ada generasi muda Papua yang memiliki keberanian dan bakat untuk menulis buku yang sebenarnya 'susah-susah gampang' ini. Namun, sampai sejauh ini upaya seperti ini sangat positif dan patut diberikan apresiasi yang besar karena untuk menghasilkan karya seperti ini membutuhkan ketekunan dan kerja keras.

Sejatinya Ubi Jalar merupakan makanan pokok utama bagi masyarakat Papua khususnya di wilayah Pegunungan Tengah. Oleh karenanya mereka telah mengenal dan memiliki beragam istilah tersendiri dalam menyebut Ubi Jalar. Dalam bahasa masyarakat Suku Hubula di Lembah Balim Pegunungan Tengah, ubi jalar disebut dengan hipere /hepiri, sementara masyarakat suku Walak menyebutnya dengan erom dan mbi oleh suku Lanny, supuru oleh suku Kurima, serta nota dalam bahasa suku Mee. Adanya beragam istilah penyebutan itu menjadi indikasi bahwa keberadaan ubi jalar di dalam kehidupan orang Papua khususnya di Pegunungan Tengah sudah dikenal sejak dahulu dan oleh karenanya hingga kini masyarakat masih memposisikan ubi jalar sebagai komoditas pangan utama dalam memenuhi kebutuhan makan pokok sehari-hari.

Saya melihat substansi pokok dalam pembahasan dan penulisan buku yang positif ini dalam beberapa hal berikut :

PERTAMA, buku ini merupakan salah satu sumbangsih karya ilmiah yang sangat penting sebagai bentuk kontribusi nyata mahasiswa dalam menyediakan informasi dan pengetahuan bagi masyarakat awam Papua, khususnya di Lembah Balim-Pegunungan Tengah tentang pentingnya menjaga eksistensi ubi jalar sebagai bahan makanan pokok utama. 

KEDUA, buku ini secara rinci dan update memaparkan kajian literatur terkait asal-usul ubi jalar Lembah Balim, Papua bahkan dari Polinesia, Melanesia hingga Indonesia. Buku ini menjawab pertanyaan tentang asal-usul ubi jalar secara ilmiah dan tidak hanya menjadi salah satu referensi yang layak tetapi juga menantang orang Papua guna meneliti lebih lanjut. 

KETIGA, buku ini menguraikan dengan detail tentang komposisi kandungan nutrisi (gizi) ubi jalar yang barang kali masyarakat awam belum menyadari dan mengetahuinya sehingga setelah mengetahui informasi ini ubi jalar patut untuk dipertahankan dan dikonsumsi oleh masyarakat.

KEEMPAT, buku ini secara deskriptif namun lugas membahas tentang bagaimana masyarakat di dunia memproduksi ubi jalar dengan sistem industrialisasi yang maju dan modern. Hal ini menjadi catatan dan pekerjaan rumah bagi masyarakat dan pemerintah serta stakeholder lainnya di Papua agar dapat seminimal mungkin mulai bergerak dalam memodernisasi produksi maupun pembudidayaan ubi jalar. 

KELIMA, penulis menyajikan berbagai informasi yang amat penting tentang potret ubi jalar di Indonesia bahkan di dunia diolah menjadi aneka makanan ringan-berat, dimana hal tersebut menjadi indikator bahwa ubi jalar memiliki prospek yang tinggi dalam bidang kulinerisasi saat ini.

KEENAM, penulis memaparkan tentang kendala, mulai adanya stigmatisasi dan kelemahan pemajuan budidaya ubi jalar di Papua khususnya di Lembah Balim-Pegunungan Tengah saat ini. Hal itu kemudian menjadi bahan koreksi dan evaluasi bagi seluruh stakholder di Papua dan khususnya masyarakat sebagai subjek utama dalam pembudidayaan ubi jalar tersebut. 

Berikutnya KETUJUH, penulis menjabarkan suatu jalan agar ada semacam gerakan pembudidayaan ubi jalar yang perlu dilakukan oleh semua pihak dikemudian hari-yang mana di-dahului dengan pembahasan beberapa alasan terkait kekuatan dan potensi penting dibalik perlunya gerakan tersebut. Pada pokok ini, kita diajak agar melihat ubi jalar dari prospeknya yang meyakinkan, baik di sisi keunggulan kandungan gizi, manfaat bagi kesehatan dan kekhawatiran hilangnya ubi jalar dari menu makan sehari-hari dan dari tanah Papua. Di sini telah dirangkaikan dengan beberapa usulan strategis dalam proses budidaya ubi jalar yang bukan saja penting untuk diperhatikan tetapi juga dilaksanakan oleh berbagai pihak terutama masyarakat di Lembah Balim dan Pegunungan Tengah Papua pada umumnya.

Selanjutnya kehadiran buku ini diharapkan dapat menjadi sebuah kerangka acuan bagi kita semua yang memiliki tanggung jawab moril untuk menjaga eksistensi nilai ubi jalar sebagai makanan pokok di Papua. Sebab melalui uraian dalam pembahasan buku ini, kita telah mengetahui semua seluk-beluk dan misteri ubi jalar yang selama ini tidak kita ketahui. Terlebih terkait keunggulan kandungan nutrisi ubi jalar yang kurang dieksplorer oleh banyak pihak sehingga orang Papua selama ini nyaris meninggalkan ubi jalar karena ketidaktahuan mereka.

Sekali lagi saya memandang penting kehadiran buku ini. Sebab di tengah kesibukan yang tinggi dan ancaman peralihan konsumsi pangan orang Papua karena minimnya informasi; buku ini dihadirkan dengan tujuan yang amat mulia yaitu menyadarkan kita untuk kembali menengok ke belakang melihat karunia pemberian Tuhan bagi masyarakat Papua yakni ubi jalar sebagai bahan makanan pokok untuk kita namun hampir kita tinggalkan ini.

Akhir kata saya menyampaikan selamat membaca dan semoga kehadiran buku ini dapat bermanfaat bagi kita sekalian. Tuhan Yesus Memberkati.

Abepura, Maret 2019

==============

TULISAN DI SAMPUL BELAKANG....... 

MANFAAT ubi jalar (sweet potatoes) dalam sejarah kehidupan rakyat Papua amat besar. Ubi jalar atau (pomoo bototos L. sudah sejak dahulu dimanfaatkan dan diposisikan sebagai makanan pokok utama oleh sebagian besar masyarakat Pegunungan Tengah dan Papua pada umumnya. Tetapi kini posisi ubi jalar tersebut mulai perlahan-lahan tergeser karena banyak faktor. Salah satunya adalah terciptanya pola konsumsi masyarakat yang tinggi atas nasi (suatu jenis makanan introduksi dari luar) yang secara tidak langsung telah mereduksi manfaat dan posisi ubi tersebut. Sementara mayoritas orang Papua belum terbiasa', mengetahui tata cara dan keterampilan bersawah hingga memproduksi beras dalam skala besar secara modern. Memang tidak dapat disangkal bahwa proses nasionalisasi beras yang digencarkan pemerintah sejak orde baru telah turut berperan memicu kemunduran bahkan mematikan budaya masyarakat Papua dalam bercocok tanam, berkebun, meramu dll. Hal itu nampak dari banyaknya kebun garapan masyarakat kini tidak lagi dikelola dan ditanam karena selain telah dialihfungsikan, mereka mulai hidup dengan bergantung pada nasi, roti, biskuit, supermi, kopi-gula dan makanan instan lainnya yang sebenarnya belum bisa mereka produksi sendiri.

Sementara itu, ketika masyarakat Papua sudah hampir meninggalkan ubi jalar, pemerintah Indonesia justru mulai memberlakukan percepatan penganekaragaman pangan lewat Perpres No.22/2009 dan Permentan No.14/2012, dimana kampanye diversifikasi pangan sudah dilaksanakan di luar Papua, tetapi di Papua belum dilakukan sama sekali. Berangkat dari titik itu, maka buku yang sekarang anda pegang hadir tidak hanya ingin mendorong masyarakat untuk kembali pada sumber pangan lokal, tetapi juga diperkaya dengan berbagai hasil penelitian para ahli mengenai sejarah asal-muasal ubi jalar dan kandungan nutrisi dari beragam jenis ubi di dunia yang sangat penting bagi kesehatan tubuh. Disamping itu, buku ini menyajikan data tingkat produksi ubi jalar dari lima negara di lima benua serta memaparkan informasi seputar kulinerisasi aneka makanan berbasis bahan baku ubi jalar.

Kami percaya bahwa tidak ada yang mustahil atau kebetulan bagi Tuhan menciptakan dunia ini beserta segala Isinya, melainkan semua yang dikasih oleh-Nya pasti dengan suatu pertimbangan dan rancangan yang matang. Dan oleh sebab itu, maka sudah semestinya kita berbangga karena sesungguhnya nilai gizi ubi jalar telah terbukti lebih unggul daripada nasi dll. Ini hal ikhwal mengapa kami berkesimpulan bahwa nutrisi ubi jalar sudah mendekati syarat makanan "1 Sehat 1 Sempurna" dengan komposisi gizi yang seimbang sehingga kita tidak perlu bersusah payah melengkapi standar "4 sehat 5 sempurna" sebagaimana yang selama ini dikampanyekan oleh berbagai pihak.

Apa yang diulas dalam buku tentang ubi jalar ini memberikan kita informasi penting bahwa secara medis ubi jalar mempunyai sejumlah kandungan nutrisi yang amat penting bagi pemeliharaan kesehatan tubuh. Salah satunya adalah kandungan Antosianin ubi ungu yang berfungsi sebagai antioksidan guna menangkal radikal bebas yang dapat memicu terjadinya tumor kanker. Saya menyambut gembira buku karya adik dokter muda Benyamin Lagowan ini. Waaa

Isak Yikwa,SKM, MM.Kes, Plt. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Pegunungan

~~~~~~~~~~~~~~

"Buku ini luar biasa karena mengupas dan menelaah uhi jalar secara lengkap dari sisi sejarah asal usul, kandungan nutrisi, fungsi kesehatan sampai pengembangan kuliner dengan bahan baku ubi jalar. Di tengah gencarnya pemerintah mensosialisasikan penganekaragaman pangan pokok untuk mengurangi konsumsi beras, buku tentang ubi jalar ini menyadarkan kita bahwa pangan lokal umbi-umbian sangat berpotensi untuk mendukung keberhasilan diversifikasi pangan bangsa Indonesia dan khususnya bagı rakyat Papua. 

Buku ini penting dimiliki oleh mahasiswa, pemerhati pangan dan kesehatan, serta masyarakat umum lainnya. 

Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS (Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor, IPB)

=============

Kalau mau beli buku, ini Nomor WAnya 081254655591

~~~~~~~