Sunday, April 6, 2025

UBI JALAR LEMBAH BALIM "1 SEHAT 1 SEMPURNA"




"Historis, Fitokimia, dan Manfaat Bagi Kesehatan Menuju Kedaulatan Pangan Rakyat Papua" 

HARI INI SAYA DAPAT KIRIMAN BUKU LANGKAH YANG DITULIS SAHABATKU Dokter BENYAMIN LAGOWAN (Lagowan Chegelian ) dengan KATA PENGANTAR dan tulisan di SAMPUL BELAKANG, sebagai berikut....... 


KATA PENGANTAR

Dr. Arius Togodly, M.Pd

Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Cenderawasih

Pertama saya mengucapkan terima kasih kepada penulis buku ini atas kepercayaan yang diberikan pada saya untuk memberi kata pengantar dalam buku berjudul: "Ubi Jalar Lembah Balim 1 Sehat 1 Sempurna: Historis, Fitokimia dan Manfaat bagi Kesehatan Menuju Kedaulatan Pangan Rakyat Papua" ini. Saya mengapresiasi ada generasi muda Papua yang memiliki keberanian dan bakat untuk menulis buku yang sebenarnya 'susah-susah gampang' ini. Namun, sampai sejauh ini upaya seperti ini sangat positif dan patut diberikan apresiasi yang besar karena untuk menghasilkan karya seperti ini membutuhkan ketekunan dan kerja keras.

Sejatinya Ubi Jalar merupakan makanan pokok utama bagi masyarakat Papua khususnya di wilayah Pegunungan Tengah. Oleh karenanya mereka telah mengenal dan memiliki beragam istilah tersendiri dalam menyebut Ubi Jalar. Dalam bahasa masyarakat Suku Hubula di Lembah Balim Pegunungan Tengah, ubi jalar disebut dengan hipere /hepiri, sementara masyarakat suku Walak menyebutnya dengan erom dan mbi oleh suku Lanny, supuru oleh suku Kurima, serta nota dalam bahasa suku Mee. Adanya beragam istilah penyebutan itu menjadi indikasi bahwa keberadaan ubi jalar di dalam kehidupan orang Papua khususnya di Pegunungan Tengah sudah dikenal sejak dahulu dan oleh karenanya hingga kini masyarakat masih memposisikan ubi jalar sebagai komoditas pangan utama dalam memenuhi kebutuhan makan pokok sehari-hari.

Saya melihat substansi pokok dalam pembahasan dan penulisan buku yang positif ini dalam beberapa hal berikut :

PERTAMA, buku ini merupakan salah satu sumbangsih karya ilmiah yang sangat penting sebagai bentuk kontribusi nyata mahasiswa dalam menyediakan informasi dan pengetahuan bagi masyarakat awam Papua, khususnya di Lembah Balim-Pegunungan Tengah tentang pentingnya menjaga eksistensi ubi jalar sebagai bahan makanan pokok utama. 

KEDUA, buku ini secara rinci dan update memaparkan kajian literatur terkait asal-usul ubi jalar Lembah Balim, Papua bahkan dari Polinesia, Melanesia hingga Indonesia. Buku ini menjawab pertanyaan tentang asal-usul ubi jalar secara ilmiah dan tidak hanya menjadi salah satu referensi yang layak tetapi juga menantang orang Papua guna meneliti lebih lanjut. 

KETIGA, buku ini menguraikan dengan detail tentang komposisi kandungan nutrisi (gizi) ubi jalar yang barang kali masyarakat awam belum menyadari dan mengetahuinya sehingga setelah mengetahui informasi ini ubi jalar patut untuk dipertahankan dan dikonsumsi oleh masyarakat.

KEEMPAT, buku ini secara deskriptif namun lugas membahas tentang bagaimana masyarakat di dunia memproduksi ubi jalar dengan sistem industrialisasi yang maju dan modern. Hal ini menjadi catatan dan pekerjaan rumah bagi masyarakat dan pemerintah serta stakeholder lainnya di Papua agar dapat seminimal mungkin mulai bergerak dalam memodernisasi produksi maupun pembudidayaan ubi jalar. 

KELIMA, penulis menyajikan berbagai informasi yang amat penting tentang potret ubi jalar di Indonesia bahkan di dunia diolah menjadi aneka makanan ringan-berat, dimana hal tersebut menjadi indikator bahwa ubi jalar memiliki prospek yang tinggi dalam bidang kulinerisasi saat ini.

KEENAM, penulis memaparkan tentang kendala, mulai adanya stigmatisasi dan kelemahan pemajuan budidaya ubi jalar di Papua khususnya di Lembah Balim-Pegunungan Tengah saat ini. Hal itu kemudian menjadi bahan koreksi dan evaluasi bagi seluruh stakholder di Papua dan khususnya masyarakat sebagai subjek utama dalam pembudidayaan ubi jalar tersebut. 

Berikutnya KETUJUH, penulis menjabarkan suatu jalan agar ada semacam gerakan pembudidayaan ubi jalar yang perlu dilakukan oleh semua pihak dikemudian hari-yang mana di-dahului dengan pembahasan beberapa alasan terkait kekuatan dan potensi penting dibalik perlunya gerakan tersebut. Pada pokok ini, kita diajak agar melihat ubi jalar dari prospeknya yang meyakinkan, baik di sisi keunggulan kandungan gizi, manfaat bagi kesehatan dan kekhawatiran hilangnya ubi jalar dari menu makan sehari-hari dan dari tanah Papua. Di sini telah dirangkaikan dengan beberapa usulan strategis dalam proses budidaya ubi jalar yang bukan saja penting untuk diperhatikan tetapi juga dilaksanakan oleh berbagai pihak terutama masyarakat di Lembah Balim dan Pegunungan Tengah Papua pada umumnya.

Selanjutnya kehadiran buku ini diharapkan dapat menjadi sebuah kerangka acuan bagi kita semua yang memiliki tanggung jawab moril untuk menjaga eksistensi nilai ubi jalar sebagai makanan pokok di Papua. Sebab melalui uraian dalam pembahasan buku ini, kita telah mengetahui semua seluk-beluk dan misteri ubi jalar yang selama ini tidak kita ketahui. Terlebih terkait keunggulan kandungan nutrisi ubi jalar yang kurang dieksplorer oleh banyak pihak sehingga orang Papua selama ini nyaris meninggalkan ubi jalar karena ketidaktahuan mereka.

Sekali lagi saya memandang penting kehadiran buku ini. Sebab di tengah kesibukan yang tinggi dan ancaman peralihan konsumsi pangan orang Papua karena minimnya informasi; buku ini dihadirkan dengan tujuan yang amat mulia yaitu menyadarkan kita untuk kembali menengok ke belakang melihat karunia pemberian Tuhan bagi masyarakat Papua yakni ubi jalar sebagai bahan makanan pokok untuk kita namun hampir kita tinggalkan ini.

Akhir kata saya menyampaikan selamat membaca dan semoga kehadiran buku ini dapat bermanfaat bagi kita sekalian. Tuhan Yesus Memberkati.

Abepura, Maret 2019

==============

TULISAN DI SAMPUL BELAKANG....... 

MANFAAT ubi jalar (sweet potatoes) dalam sejarah kehidupan rakyat Papua amat besar. Ubi jalar atau (pomoo bototos L. sudah sejak dahulu dimanfaatkan dan diposisikan sebagai makanan pokok utama oleh sebagian besar masyarakat Pegunungan Tengah dan Papua pada umumnya. Tetapi kini posisi ubi jalar tersebut mulai perlahan-lahan tergeser karena banyak faktor. Salah satunya adalah terciptanya pola konsumsi masyarakat yang tinggi atas nasi (suatu jenis makanan introduksi dari luar) yang secara tidak langsung telah mereduksi manfaat dan posisi ubi tersebut. Sementara mayoritas orang Papua belum terbiasa', mengetahui tata cara dan keterampilan bersawah hingga memproduksi beras dalam skala besar secara modern. Memang tidak dapat disangkal bahwa proses nasionalisasi beras yang digencarkan pemerintah sejak orde baru telah turut berperan memicu kemunduran bahkan mematikan budaya masyarakat Papua dalam bercocok tanam, berkebun, meramu dll. Hal itu nampak dari banyaknya kebun garapan masyarakat kini tidak lagi dikelola dan ditanam karena selain telah dialihfungsikan, mereka mulai hidup dengan bergantung pada nasi, roti, biskuit, supermi, kopi-gula dan makanan instan lainnya yang sebenarnya belum bisa mereka produksi sendiri.

Sementara itu, ketika masyarakat Papua sudah hampir meninggalkan ubi jalar, pemerintah Indonesia justru mulai memberlakukan percepatan penganekaragaman pangan lewat Perpres No.22/2009 dan Permentan No.14/2012, dimana kampanye diversifikasi pangan sudah dilaksanakan di luar Papua, tetapi di Papua belum dilakukan sama sekali. Berangkat dari titik itu, maka buku yang sekarang anda pegang hadir tidak hanya ingin mendorong masyarakat untuk kembali pada sumber pangan lokal, tetapi juga diperkaya dengan berbagai hasil penelitian para ahli mengenai sejarah asal-muasal ubi jalar dan kandungan nutrisi dari beragam jenis ubi di dunia yang sangat penting bagi kesehatan tubuh. Disamping itu, buku ini menyajikan data tingkat produksi ubi jalar dari lima negara di lima benua serta memaparkan informasi seputar kulinerisasi aneka makanan berbasis bahan baku ubi jalar.

Kami percaya bahwa tidak ada yang mustahil atau kebetulan bagi Tuhan menciptakan dunia ini beserta segala Isinya, melainkan semua yang dikasih oleh-Nya pasti dengan suatu pertimbangan dan rancangan yang matang. Dan oleh sebab itu, maka sudah semestinya kita berbangga karena sesungguhnya nilai gizi ubi jalar telah terbukti lebih unggul daripada nasi dll. Ini hal ikhwal mengapa kami berkesimpulan bahwa nutrisi ubi jalar sudah mendekati syarat makanan "1 Sehat 1 Sempurna" dengan komposisi gizi yang seimbang sehingga kita tidak perlu bersusah payah melengkapi standar "4 sehat 5 sempurna" sebagaimana yang selama ini dikampanyekan oleh berbagai pihak.

Apa yang diulas dalam buku tentang ubi jalar ini memberikan kita informasi penting bahwa secara medis ubi jalar mempunyai sejumlah kandungan nutrisi yang amat penting bagi pemeliharaan kesehatan tubuh. Salah satunya adalah kandungan Antosianin ubi ungu yang berfungsi sebagai antioksidan guna menangkal radikal bebas yang dapat memicu terjadinya tumor kanker. Saya menyambut gembira buku karya adik dokter muda Benyamin Lagowan ini. Waaa

Isak Yikwa,SKM, MM.Kes, Plt. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Pegunungan

~~~~~~~~~~~~~~

"Buku ini luar biasa karena mengupas dan menelaah uhi jalar secara lengkap dari sisi sejarah asal usul, kandungan nutrisi, fungsi kesehatan sampai pengembangan kuliner dengan bahan baku ubi jalar. Di tengah gencarnya pemerintah mensosialisasikan penganekaragaman pangan pokok untuk mengurangi konsumsi beras, buku tentang ubi jalar ini menyadarkan kita bahwa pangan lokal umbi-umbian sangat berpotensi untuk mendukung keberhasilan diversifikasi pangan bangsa Indonesia dan khususnya bagı rakyat Papua. 

Buku ini penting dimiliki oleh mahasiswa, pemerhati pangan dan kesehatan, serta masyarakat umum lainnya. 

Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS (Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor, IPB)

=============

Kalau mau beli buku, ini Nomor WAnya 081254655591

~~~~~~~

Friday, November 16, 2018

Buku Papua ‘surga’ yang terlantar, dokumentasi pelanggaran HAM di Papua 2015-2017

Penulis buku Rudolf Kambayong saat memaparkan isi buku – Jubi/dok panitia
Jayapura, Jubi – Sekretariat Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua meluncurkan buku terbaru berjudul Papua ‘surga’ yang terlantar, Rabu (14/11/2018). Buku yang memuat laporan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dari lima sekretariat keadilan dan perdamaian (SKP) se tanah Papua periode 2015-2017.
Penulis buku, Rudolf Kambayong menjelaskan Papua, selain tanah yang kaya, ‘surga’ akan sumber daya alamnya, Papua juga menjadi ‘surga’ tumbuhnya segala kekerasan dan pelanggaran HAM (Sipol dan Ekosob serta Lingkungan Hidup).
“Semuanya ini masih belum diselesaikan dengan secara baik, benar dan adil oleh Negara Indonesia. Negara dengan segala kepentingannya, melalui elit birokrasi maupun aparat keamanan, terus mengganggu Tanah dan Manusia Papua,” katanya di Aula STFT Fajar Timur Abepura, Rabu (14/11/2018).
Kasus penembakan di Intan Jaya dan Tolikara pada waktu bersamaan (17 Juli 2015), penembakan di Koperapoka Mimika (28 Agustus 2015), penembakan di Kabupaten Jayapura (11 Januari 2017), penyiksaan saat sweeping (razia) di Kabupaten Dogiyai (10 Januari 2017), penembakan Michael Merani di Kepulauan Yapen (27 Maret 2017), penembakan di Kampung Oneibo (1 Agustus 2017) dan masih banyak lagi kekerasan fisik dan penembakan lainnya yang dialami oleh Orang Asli Papua.
Kekerasan yang dialami Orang Asli Papua juga ketika mereka berjuang untuk mempertahankan hak ulayatnya. Sebut saja kasus dialami oleh Sekretaris Dewan Adat Suku Yerisiam Gua Nabire pada 29 Juni 2017, Yan Ever di Kabupaten Sorong pada 23 Oktober 2017.
“Masyarakat pemilik hak ulayat harus berurusan dengan aparat keamanan yang mengamankan bisnis elit birokrasi dengan pihak perusahaan di Tanah Papua. Masyarakat pemilik hak ulayat sepertinya sudah ‘ditakdirkan’ untuk menerima dan siap menerima kesakitannya” kata Kambayong yang juga Direktur SKP Keuskupan Timika.
Persoalan layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan hampir tidak berjalan di pedalaman Papua. Masyarakat harus berjuang untuk melawan segala ketidaktahuannya dengan segala jenis penyakit yang menyerang mereka. Kasus meninggalnya manusia Papua usia Balita di Kabupaten Lany Jaya, Dogiyai, Yahukimo (Saminage dan Korowai) menjadi potret buruk pemenuhan hak dasar kemanusian bagi orang asli Papua.
Kambayong menjelaskan, dengan segala persoalan tersebut, berbagai elemen berusaha untuk perlahan menyelesaikannya. Negara juga bertanggung jawab penuh untuk menyelesaikannya. Negara mulai menguatkan pembangunan infrastruktur dengan program andalan Presiden Joko Widodo, Nawacita. Sejalan dengan itu, perhatian dunia internasional terhadap segala persoalan kemanusian atau HAM di Tanah Papua terus meningkat. Dunia internasional terus memberikan tekanan kepada Negara Indonesia.
Terlepas dari segala persoalan dan perhatian Negara, Gereja Katolik di Tanah Papua melalui Sekretariat Keadilan dan Perdamaiannya berusaha menyuarakan penderitaan dan kesakitan orang asli Papua tersebut. Kesekretariatan ini tersebar di lima keuskupan di Tanah Papua yakni SKP Keuskupan Agung Merauke, SKPKC Fransiskan Papua, SKP Keuskupan Timika, SKP Keuskupan Agats, SKP Keuskupan Manokwari Sorong dan SKPC OSA. Mereka berusaha menyuarakan dan menyelesaikan persoalan tersebut dengan gaya dan situasi yang dihadapi oleh orang yang dilayani.
Buku “Papua: Surga Yang Terlantar, Laporan HAM SKP se-Papua tahun 2015-2017” yang diterbitkan ini merupakan salah satu upaya dari SKP yang berada di Tanah Papua. SKP di Tanah Papua berusaha mendokumentasikan segala persoalan yang terjadi pada tiga tahun (2015-2017). Dokumentasi ini bukan untuk menangisi segala kesakitan tersebut tetapi mengingatkan kita untuk terus berjuang dan berusaha demi tegaknya harkat dan martabat orang asli Papua. Buku ini membantu meneruskan suara mereka (orang asli Papua) yang semakin hari dibungkam.
“Buku ini juga mengingatkan kepada Negara Indonesia bahwa pelanggaran HAM itu belum diselesaikan dan masih terus terjadi hingga saat ini. Kiranya Buku ini menjadi salah satu refrensi bagi kita untuk mengetahui persoalan HAM di Tanah Papua,” katanya.
Ketua aliansi Jurnalis Independen Papua, Lucky ireeuw mengatakan buku itu berisi tragedi kemanusiaan yang terjadi sepanjang tiga tahun terakhir.  
“Antara realitas masyarakat dan peran gereja. Gereja berperan membantu menyelesaikan persoalan masyarakat.  SKP turut terlibat . Ini adalah potret peran gereja,” katanya.
Ireeuw menyampaikan apresiasinya kepada para penulis buku, karena ketekunan mendokumentasikan peristiwa demi peristiwa di Tanah Papua, sehingga pada akhirnya buku tersebut akan menjadi sumber data yang valid bagi jurnalis, atau penulis buku lainnya.
“Media juga memiliki peran penting dalam penegakan HAM. Namun hingga saat ini media dan jurnalis di Papua measih mengalami kekerasan, intimidasi, pelarangan jurnalis asing, pemblokiran website. Bahkan saat jurnalis di seluruh dunia merayakan hari kebebasan Pers di Jakarta, jurnalis Papua mengalami pemukulan. Hal ini bisa kita dorong bersama ,” katanya. 
Hadir sebagai pembanding buku, dosen STFT Fajar Timur Abdon Bisei menjelaskan, penderitaan rakyat Papua yang terhimpun dalam buku ini, adalah penderitaan Yesus masa kini. Ajaran sosial gereja, adalah societa perfecta yang mengurus hal rohani, dan religius.
“Lalu mengapa gereja terlibat? Keterlibatan gereja sebagai perwujudan iman. Ini sumbangan gereja untuk semua umat manusia. Gereja memang konsen pada bidang-bidang rohani, tapi juga pada bidang lain. Namun di gereja Katolik, tugas ini diberikan kepada awam,” jelasnya.
Sebab itu, hakikat pertanggungjawaban gereja dalam iman, gereja harus terlibat dalam tanggung jawab sosial. Gereja harus peka membaca tanda zaman. “Dan martabat manusia harus dibela,” katanya.
Ketua Gerakan Mahasiswa Pemuda Rakyat (Gempar) Papua, Yason Ngelia mengucapkan terima kasih kepada SKPKC Fransiskan Papua yang sudah mengadvokasi rakyat Papua dengan mendokumentasikan semua peristiwa, sehingga membantu aktivis dan jurnalis untuk ketersediaan data. “Buku ini mereview untuk kita. Ketika kita memerlukan data, ada buku ini,” katanya.
Selain itu Ngelia menjelaskan buku tersebut juga sangat bermanfaat, karena memberikan pengetahuan tentang HAM kepada kaum awam.
“Banyak OAP yang belum tahu, bahwa sebuah kasus bisa dikatakan sebuah pelanggaran HAM, jika aktornya adalah Negara. Dan buku ini memberi pengetahuan tentang hal-hal seperti itu,” katanya.
Walaupun berterma kasih, Yason Ngelia juga menyayangkan lambatnya gereja terlibat dalam persoalan HAM, karena SKP di seluruh keuskupan baru berdiri pada tahun 1998.
“SKP mendorong Papua Tanah Damai. Namun buku ini menjelaskan sebaliknya. Reformasi tidak akan selesai jika militer tidak dibenahi,” katanya. (*)

Sunday, November 30, 2014

Genap 10 tahun di Penjara Indonesa, Filep Karma Luncurkan Buku

Oleh : Oktovianus Pogau, SUARAPAPUA.com | Senin, 01 Desember 2014 - 09.06 WIB | Dibaca : 186 kali

Genap 10 tahun di Penjara Indonesa, Filep Karma Luncurkan Buku
Buku karya Filep Karma, tahanan politik Papua (Foto: Oktovianus Pogau/Suara Papua)
JAYAPURA, SUARAPAPUA.com --- Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus hentikan semua diskriminasi dan rasialisme di Tanah Papua, dari impunitas para pelanggar hak asasi manusia, sampai pembatasan wartawan independen berkunjung ke Papua.
Demikian pernyataan pers yang dikeluarkan penerbit Deiyai, saat menggelar acara launching buku karya tahanan politik Papua, Filep Karma, dengan judul, “Seakan Kitorang Setengah Bintang: Rasialisme Indonesia di tanah Papua”, Senin (01/12/2014) pagi, di Jayapura, Papua.

"Filep Karma tak bisa keluar dari penjara. Saya mewakili dan minta pemerintah Indonesia hentikan diskriminasi dan rasialisme terhadap orang kulit hitam, rambut keriting, yang disebut Papua,” kata Benny Giay.

“Sudah 10 tahun Karma dipenjara karena bicara aspirasi Papua Merdeka dengan damai, tanpa kekerasan. Apa bedanya dengan orang di Jawa bicara khilafah Islamiyah? Saya harap Presiden Jokowi sadar bahwa Filep Karma seharusnya dibebaskan."

Buku ini hasil wawancara dengan Filep Karma selama dua tahun. Wawancara dilakukan dalam penjara dan rumah sakit ketika dia berobat. Karma memeriksa semua transkrip, bantu riset data, bolak-balik dengan redaksi Deiyai, serta setuju dengan hasil final.

Ia berisi lima bagian, mulai cerita masa kecil di Wamena dan Jayapura, Biak berdarah hingga kritik terhadap pelaku perjuangan Papua Merdeka.

Karma cerita soal bagaimana militer dan polisi Indonesia melanggar hak asasi manusia lewat berbagai operasi. Pelakunya, kebal hukum termasuk dalam pembantaian Biak pada 6 Juli 1998 ketika ratusan orang Papua ditangkap, dipukul dan mayat mereka dibuang ke laut. Karma juga cerita soal anak-anak yang lahir dari pemerkosaan oleh serdadu Indonesia.

Dia juga cerita bagaimana warga Papua, sejak Penentuan Pendapat Rakyat 1969 sampai hari ini dengan “sistem noken” --dibenarkan oleh Mahkamah Konstitusi-- masih tidak diberi hak one man one vote.

Wartawan independen dan organisasi hak asasi manusia juga dibatasi masuk ke Papua sejak 1963. Ini beda dengan wartawan mau datang ke kota lain di Indonesia. Tiada izin khusus bila ada wartawan asing mau ke Pekanbaru atau Makassar.

Secara pribadi, Karma juga cerita bagaimana ketika dia kuliah di Solo pada 1990an, dia sering disebut sebagai “monyet” atau “koyo ketek” (kaya kera). Orang juga sering tutup hidung ketika berdekatan dengan orang Papua.

Ini bukan saja di Jawa tapi juga di Papua, oleh para pendatang yang tinggal dari Sorong sampai Merauke, dari Wamena sampai Paniai. Karma berpendapat orang Papua yang hitam, rambut keriting, dianggap “setengah binatang.

” Karma mendapat pencerahan ketika dia kuliah di Manila, Filipina, dan kembali ke Papua pada Mei 1998.

Karma dipenjara sesudah pidato soal peminggiran etnik Papua dan menaikkan bendera Bintang Kejora di lapangan Abepura pada 1 Desember 2004. Dia ditangkap, diadili, dihukum makar dan dipenjara 15 tahun oleh pengadilan Abepura.

Dia banding namun kalah oleh pengadilan tinggi Papua serta belakangan oleh Mahkamah Agung di Jakarta. Dia lantas banding ke Perserikatan Bangsa-bangsa di New York dengan bantuan hukum pro-bono oleh Freedom Now di Washington DC.

Pada November 2011, UN Working Group on Arbitrary Detention di New York memutuskan pengadilan Indonesia tidak memberikan fair trial kepada Karma. Pasal-pasal soal makar dari Kitab Hukum Undang-undang Pidana ditafsirkan secara tidak proporsional.

Mereka minta pemerintah Indonesia membebaskan Karma “sesegera mungkin dan tanpa syarat.” Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak pernah menanggapi peradilan PBB.

“Sudah 10 tahun Filep Karma dipenjara. Saya kira gunanya adalah hati nurani bangsa Papua. Dia konsisten berjuang untuk kebenaran dan cara damai. Dia tak punya kekuasaan, tak punya organisasi, tak punya pengikut. Dia tahu bangsanya lemah. Dia berjuang dengan sikap saja,” kata Giay.

“Di Papua, banyak orang bisa dibeli … dengan uang, kedudukan, gelar dan janji-janji. Namun Filep Karma menolak untuk dibeli. Dia menunjukkan bahwa orang Papua punya harga diri. Dia adalah hati nurani bangsa Papua,” kata Giay.

James Elmslie, seorang profesor dari Universitas Sydney yang menulis buku Irian Jaya Under the Gun: Indonesian Economic Development versus West Papuan Nationalism, menuliskan pengantar buku Karma.

Menurut Elmslie, "Judul bukunya adalah ungkapan kuat yang menjelaskan 52 tahun salah penanganan Papua Barat oleh pemerintah Indonesia. Hingga kini, orang Papua Barat diperlakukan 'setengah binatang' di seluruh pelosok negeri, dari Jayapura hingga Wamena di Pegunungan Tengah."

Elmslie pernah tinggal beberapa tahun di Papua. Ia menyatakan buku Karma memberi perspektif baru sehingga pembaca memahami benar perlakuan Indonesia terhadap Papua Barat. "Filep Karma menjelaskan perlakuan kejam Indonesia terhadap orang Papua ini karena dasar rasialisme mendalam.”

Dukungan terhadap buku ini ditulis tujuh orang termasuk dari Carmel Budiardjo, pendiri organisasi Tapol di London, sampai Imam Shofwan dari Yayasan Pantau di Jakarta.

Eben Kirksey, antropolog yang menulis buku Freedom in Entangled Worlds: West Papua and the Architecture of Global Power, memuji Filep Karma sebagai “… pemimpin paling berani di Papua Barat. Dia lawan kekerasan dengan taktik non-kekerasan macam Mahatma Gandhi, Martin Luther King dan Nelson Mandela.”

Benny Giay juga mengingatkan bahwa Filep Karma maupun lebih dari 60 tahanan politik lain di Papua seharusnya dibebaskan.

"Presiden BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid pernah melakukan. Mereka dikenang sebagai orang baik oleh rakyat Papua,” ujar Giay.

Dia percaya Presiden Jokowi juga orang berhati mulia. Dia minta Jokowi, yang rencana merayakan Natal di Papua, juga membebaskan para tapol Papua.

OKTOVIANUS POGAU

Thursday, July 18, 2013

Bangkit Publishing: Membangun Bisnis Tahan Krisis

Bangkit Publishing: Membangun Bisnis Tahan Krisis: DAPAT MASALAH? SELAMAT! Jangan heran, ketika saya menuliskan kalimat tersebut dalam tulisan ini. Sekali lagi, selamat, karena Anda telah men...

$00.00
Description your product.............

Thursday, July 11, 2013

Manfaat Membaca Buku dalam Kehidupan Kita

Manfaat Membaca Buku dalam Kehidupan Kita

Banyak yang mengatakan buku adalah jendela dunia. Betul sekali, buku adalah jendela dunia. Dengan membuka buku berarti Anda membuka jendela dunia. Anda bisa melihat keluar, sesuatu yang baru atau pemandangan yang berbeda dengan apa yang ada di rumah kita. Yang dimaksud rumah adalah pikiran kita saat ini. Sebagian orang mengatakan bahwa dengan membaca sebuah buku berarti kita membuka cakrawala.

Wednesday, July 10, 2013

Demokrasi Kesukuan: SUATU PENGANTAR, Sem Karoba, dkk.

$70.000
"Demokrasi Kesukuan" ialah sebuah Gagasan Sistem Pemerintahan Masyarakat Adat di Era Globalisasi yang diajukan oleh masyarakat Papua Buku ini adalah Edisi VIIIa sebagai ‘SUATU PENGANTAR’ dari gagasan ‘Demokrasi Kesukuan’ yang direncanakan diterbitkan dalam Tiga Seri dan hampir Sepuluh Edisi.Buku yang Anda pegang ini ialah Edisi Pertama (VIIIa).

Buku ini mengantar sidang pembaca, tokoh serta Masyarakat Adat Papua kepada pemikiran-pemikiran, wacana dan persoalan-persoalan yang akan diulas dalam Sebagai pentanar, buku ini memaparkan latar-belakang, mengidentifikasi masalah yang telah mengemuka dalam pengalaman hidup penggagas sekaligus penulis dan kesimpulan yang diambil, disertai dengan batasan-batasan pokok yang dimuat dalam buku-buku "Demokrasi Kesukuan", dilanjutkan dengan kerangka pemikiran penulisan buku-buku gagasan Demokrasi Kesukuan, penjelasan istilah dan garis besar isi buku-buku yang akan terbit.

Buku-buku selanjutnya tidak aakn memuat bagian pendahuluan secara panjang-lebar karena buku (Edisi VIIIa) ini telah menjadi pendahuluan untuk semua buku-buku yang akan terbit.

 

Jual Buku " DEMOKRASI KESUKUAN "

$70.000
Gagasan Sistem Pemerintahan Masyarakat Adat Papua Buku ini adalah Edisi VIIIa sebagai ‘Suatu Pengantar’ dari gagasan ‘Demokrasi Kesukuan’; yang mengantar sidang pembaca, tokoh serta Masyarakat Adat Papua kepada pemikiran-pemikiran, wacana dan persoalan-persoalan yang akan diulas dalam Bagian 01 (EdisiVIIIb) sampai Bagian 05 (EdisiVIIIf). Buku Pengantar kepada wacana gagasan Demokrasi Kesukuan ini memuat jawaban atas sejumlah pertanyaan seperti berikut: Selengkapnya di SINI