Oleh : Fajrul Islamy Akbar (HIMAS- Malang) Dipungkiri atau tidak, mau tidak mau harus diakui Sapeken dengan kekurangan dan kelebihannya menyimpan potensi sumber daya alam dan sumber manusia yang luar biasa. Bagaimana tidak, pulau sekecil itu serta beberapa pulau di sekitarnya menyimpan kekayaan alam yang melimpah, buktinya hasil laut dan pengeboran minyak bumi/ gas alamnya. Pulau yang tidak ada seperempat dari pulau kangean (pulau tetangga) menyimpan kekayaan lain yaitu kemajemukan suku masyarakat yang bertempat tinggal beragam, suku Madura, Mandar, Bugis, Jawa dan mayoritas suku Bajo.
Suku Bajo yang dapat diartikan "manusia perahu" berasal dari Bone Sulawesi Selatan. Suatu komunitas yang hidupnya lebih banyak dihabiskan di atas perahu untuk mencari pelbagai potensi laut seperti ikan, teripang, udang, rumput laut. Kalaulah mereka membangun permukiman, itu pun tidak lepas dari laut (1). Masyarakat suku Bajo ini banyak menyebar di pelbagai wilayah Indonesia termasuk di pulau Sapeken, Tidak berbeda dengan suku- suku lain di Indonesia Suku Bajo juga dikenal memegang erat norma/ hukum adat dalam kehidupan sosial yang sangat dipengaruhi oleh nilai- nilai religi yaitu Islam.
Dengan perkembangan waktu yang menyebabkan interaksi sosial dan perilaku masyarakat di pulau Sapeken mulai melupakan norma/hukum adat dan agamanya, maka muncul inisiatif tokoh- tokoh masyarakat setempat untuk menerapkan hukum adat pada tahun 2001 dengan slogan “Hukum adat yang bersendikan Syariat”.
Hukum adat yang bersendikan Syariat dengan pro- kontranya Alhamdulillah dapat di rasakan hasilnya. dengan pemberlakuan hukum adat pelanggaran- pelanggaran terhadap norma hidup (hukum positif, adat dan agama) dapat dikendalikan karena sistem hukum adat yang diberlakukan memberikan efek jera pada pelanggar- pelanggarnya. Kalau mau jujur “efek jera” inilah yang menjadi faktor utama bagi pelanggar- pelanggar norma hidup untuk berfikir berulang kali melanggar aturan tersebut. Sayang hukum yang seyogyanya dijaga dan dilestarikan kini hampir tak terdengar gaungnya. Padahal menurut hemat penulis hukum adat merupakan salah satu khasanah kekayaan hukum di Indonesia yang mempunyai peranan yang sangat besar dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam masyarakat tradisional di Indonesia umumnya,
Karena peraturan-peraturan ini tidak terkodifikasi dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis sehingga hukum ini mudah di pahami dan ditaati serta tidak mungkin hukum adat ini diterapkan dalam suatu masyarakat tertentu dan lebih populer daripada hukum positif termasuk di pulau Sapeken.
Hukum adat sebagai hukum kebiasaan yang tidak terkodifikasi akan tetap menjadi sumber hukum baru dalam hal-hal yang belum/tidak ditetapkan oleh Undang-Undang (2). Kedudukan hukum adat ini sangat diperhatikan oleh dunia Internasional maupun Negara kita Indonesia, hal ini terbukti, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai organisasi induk negara- negara di dunia memberikan apresiasi khusus terhadap keberadaan masyarakat adat beserta norma aturan yang berlaku didalamnya. Hal ini termaktub dalam deklarasi PBB tentang Hak- Hak Masyarakat Adat “Declaration on the Rights of Indigenous peoples”. Dalam deklarasi ini menyebutkan semua hak- hak yang diberikan negara- negara di dunia kepada mayarakat adat beserta norma yang berlaku didalamnya (3).
Negara kita Indonesia memberikan ruang pada hukum adat ini, dalam ayat 2 pasal 18B UUD RI 1945 menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang” (4). Selain itu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ayat 9 pasal 2 disebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia” (5).
Dalam undang- undang ini (Undang Undang no.32 Th.2004 tentang Pemerintahan Daerah) pada Bab XI yang mengatur tentang desa dan pemerintahan desa, pada ayat 3 pasal 203 menegaskan bahwa “pemilihan Kepala Desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam Perda dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah (6)”.
Dengan dasar ini hukum adat menjadi elemen dalam sistem hukum di Indonesia dan masih berlaku dalam masyarakat Indonesia. Pulau Sapeken salah satu yang memberlakukan hukum adat dan terlepas dari pro- kontranya adalah solusi terbaik untuk menjaga keteraturan hidup, interaksi sosial serta penegakan hukum positif, hukum adat sekaligus hukum agama (Syariat). Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa hukum adat yang bersendikan syariat adalah salah satu solusi yang terbaik untuk menjaga keteraturan hidup, keteraturan interaksi sosial, dan penegakan hukum positif pada umumnya sekaligus penegakan syariat Islam dalam kehidupan sehari- hari dalam kontek kehidupan sosial di pulau Sapeken yang tentunya hukum adat ini sebagai mitra dan pendukung hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Rujukan:
(1) Anwar Hudijono dan Nasru Alam Azis, 2001, Lonceng Kematian Suku Bajo, Harian Kompas, edisi Jumat, 8 Juni 2001, jakarta(2) R. Soepomo, 1947,”Kedudukan Hukum Adat Di Kemudian Hari”,Disampaikan dalam pidato Dies Natalis Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada tanggal 17 Maret 1947, Yogyakarta.
(3) Resolusi PBB Sesi – 61 Agenda Item 68 ”Declaration on the Rights of Indigenous peoples”, 7 September 2007 dalam Sem Karoba, Hak Asasi Masyarakat Adat, 2007, Galang Press, Yogyakarta, hal 7 dan seterusnya
(4) Lihat ayat 2 pasal 18B UUD RI 1945 (5) Lihat ayat 2 pasal 9 Undang- Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (6) Ibid ayat 3 pasal 203