Friday, December 3, 2010

Libanon menggapai demokrasi modern

Oleh: Peter Phillip dari Berlin

(Para pendukung Saad Hariri merayakan kemenangan pemilu)

Setelah Suriah menarik mundur semua tentaranya dari Libanon, untuk pertama kalinya di negara itu digelar pemilu parlemen bebas. Partai aliansi dari Saad Hariri, putra mendiang mantan PM Rafik Hariri yang terbunuh bulan Februari lalu, tampil sebagai pemenang. Tapi dipertanyakan, apakah itu saja sudah cukup untuk membawa Libanon, menjadi sebuah negara demokrasi modern?

Sejauh ini pemilu di Libanon memang berlangsung lancar. Partai politik dari Saad Hariri, dinyatakan sebagai pemenang pemilu parlemen, namun masih terdapat sejumlah pertanyaan, yang mungkin sulit dijawab. Mula-mula dipertanyakan, apakah sebuah nama keluarga tokoh terkemuka, mencukupi untuk kualifikasi bagi sebuah jabatan dan martabat seorang kepala pemerintahan? Mendiang Rafik Al Hariri juga mendapat kritikan tetapi ia populer di kalangan luas rakyat Libanon. Sebab, paling tidak ia melakukan banyak hal bagi pembangunan kembali Libanon, sama banyaknya seperti bagi kepentingan ekonominya sendiri. Walaupun sisa reruntuhan dari perang saudara bertahun-tahun, masih kelihatan di sana-sini, namun Beirut yang modern, juga bersinar dengan sejumlah kawasan yang sangat modern dan mewah, yang tidak kalah dari kawasan serupa di Paris, dan nama Hariri tentu terkait dan tidak dapat dilepaskan dengan hal tsb. Apakah hal itu, akan dapat menjadikan anaknya seorang tokoh politik, yang juga dapat memecahkan berbagai masalah politik di Libanon?

Masalah semacam itu, cukup banyak terdapat di Libanon, dan bukan hanya di bidang politik ekonomi saja, dengan utang luar negeri yang cukup tinggi. Di sisi lain, istilah oposisi juga teramat sulit. Dalam situasi bagaimana kelompok pemerintah di masa depan, dapat menamakan dirinya oposisi? Yang dimaksud oposisi, adalah kelompok yang menentang eksistensi serta campur tangan Suriah di Libanon. Damaskus memang telah menarik seluruh tentaranya. Tetapi merupakan kebodohan, jika menganggap Suriah tidak melanjutkan kepentingannya di bekas negara protektoratnya. Pembunuhan wartawan yang kritis terhadap Suriah, Samir Kassir belum lama ini, merupakan sebuah contoh tanda peringatan.

Menjadi sangat berbahaya, jika kekuatan pimpinan di Libanon, hanya menetapkan haluannya sebagai oposisi menentang Suriah. Sebuah negara, tidak akan tertolong, hanya dengan sikap oposisif dan penolakan saja, melainkan hanya dengan upaya baru yang positif dan
konstruktif, melalui pembangunan, perujukan dan kerjasama. Namun kesiapan untuk itu, sejauh ini tidak ditunjukkan dengan cukup jelas. Libanon baru, sangat mirip dengan Libanon lama, dengan sistem yang kuno,  yang di masa lalu merupakan penyebab situasi buruk.

Kelompok-kelompok lama masih eksis, kelompok yang mengedepankan kepentingan kekuasaan, berdasarkan agama dan kesukuan. Nama-nama aktornya tetap sama. Kadang-kadang generasinya saja yang baru, tetapi orangnya yang itu itu juga. Semua orang berharap, dapat memanfaatkan berlakunya sebuah sistem proporsional, untuk melindungi dirinya maupun kepentingannya. Sebuah sistem, yang memiliki niat baik, untuk memungkinkan kehidupan bersama yang damai, diantara berbagai kelompok yang beraneka ragam. Dan dalam waktu bersamaan, juga memiliki kontribusi untuk menghapuskan masalah antar agama.

Sebuah Libanon baru, harus muncul dari pemikiran pembagian kekuasaan secara proporsional semacam itu. Dan tidak harus menamakan dirinya anti Suriah, anti Israel atau anti apapun, melainkan di garis depan terutama harus membela kepentingan rakyat Libanon. Untuk itu, diperlukan partai politik dengan program yang jelas, yang sejauh ini partai semacam itu tidak ada di Libanon. Untuk itu, juga diperlukan tokoh politik baru, yang tidak hanya tampil sebagai perwakilan keluarga. Melainkan sebagai teknokrat, dimana kesejahteraan rakyat menjadi  program utamanya. Libanon masih jauh dari kondisi untuk berubah menjadi negara demokrasi modern. Sekarang Libanon, satu persatu negara-negara di kawasan Timur-Tengah, tampaknya akan terhempas badai perubahan.

Demokrasi Tanpa Pertentangan Sara

PILKADA enam kabupaten/kota di Lampung digelar serentak hari ini. Bandar Lampung, Metro, Lampung Selatan, Lampung Timur, Way Kanan, dan Pesawaran memilih pasangan calon terbaik.

Sebanyak 32 pasangan calon pun jauh-jauh hari sudah menyiapkan hati untuk kalah atau menang, sesuai dengan komitmen yang mereka sampaikan saat deklarasi pilkada damai dulu. Semoga seluruh calon memegang teguh komitmen itu sebab jika takut kalah, sebaiknya jangan memberanikan diri untuk ikut berkompetisi.

Selama masa sosialisasi yang panjang, sejak setahun lebih plus masa kampanye dua pekan, semua calon telah mengeksplorasi semua daya dan cara untuk menggalang pemilih. Beberapa calon merangkul organisasi massa tertentu, sebagian lagi mendekati unsur-unsur keagamaan. Untuk pendekatan ormas hampir tidak ada masalah sebab biasanya calon berangkat dari ormas-ormas pendukung.

Dari unsur keagamaan juga tidak menjadi persoalan karena seluruh calon berasal dari agama yang sama. Dengan kata lain, kecil kemungkinan bakal terjadi benturan antarormas maupun antaragama.

Isu Etnis

Titik paling sensitif adalah jika calon membawa-bawa isu etnis (kesukuan). Di beberapa daerah ada calon yang merangkul kelompok etnis dari daerah tertentu sebagai massa pendukung. Ini juga sebenarnya masih wajar sebab setiap calon pastilah mempunyai latar belakang etnis tertentu.

Menjadi tidak wajar jika calon atau tim pemenangan secara sadar "membenturkan" etnis satu dengan etnis lain, hanya untuk meraih simpati atau upaya memenangkan pertarungan politik.

Fenomena ini masih dapat kita rasakan dengan jelas dalam Pilkada 2010 sekarang. Bahkan, kadarnya lebih kental dibandingkan dengan sebelumnya dan kerap pula diungkapkan secara gamblang di depan publik. Soal calon pemimpin dari etnis Jawa dan non-Jawa, misalnya, seolah belum bisa dilepaskan dalam pilkada kali ini.

Secara faktual, jumlah penduduk Lampung dari etnis Jawa memang lebih dari 50%. Meskipun demikian, sangatlah tidak berdasar jika sampai ada kecurigaan dari pelaku politik bahwa etnis Jawa hendak menguasai daerah ini. Jika itu benar, Pilgub 2008 tentu sudah dimenangkan calon dari orang Jawa. Kemudian, dari 11 kabupaten/kota yang menggelar pilkada di Lampung, mestinya tidak hanya tiga bupati/wali kota yang bersuku Jawa.

Jadi, dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa orang Jawa di Lampung tidak terlalu peduli apakah pemimpinnya orang Jawa atau bukan.

Jika isu kesukuan, agama, ras, dan antargolongan (sara) masih saja dijadikan komoditas politik, ini jelas sebuah kemunduran dalam berdemokrasi di Lampung. Pilkada dan pilgub terdahulu semestinya menjadi pelajaran amat berharga bagi kita: bahwa pemilih dari etnis A belum tentu memilih calon pemimpin dari etnis A. Begitu juga dengan etnis B, C, D, dan seterusnya.

Secara umum, perbedaan etnis tidak lagi menjadi hal menarik untuk dipertentangkan. Soal ini sudah selesai. Karena itu, elite politik jangan lagi bermain-main di tataran etnis, golongan, dan agama dalam pilkada, baik sebelum maupun setelah hari pemungutan suara.

Demokrasi tidak lagi mengenal perbedaan-perbedaan itu. Yang ada adalah persamaan nasib, yaitu sebagai sesama warga Lampung. Kita hormati pilihan rakyat. Siapa pun pemenangnya, dialah yang terbaik. Selamat memilih. ***
http://lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2010063005552437

Demokrasi Tidak Universal

SIMPUL - Banyak orang percaya bahwa demokrasi adalah sesuatu yang universal sehingga harus mencontoh yang berlaku di negara negara Barat dan terutama Amerika Serikat (AS). Tidak sedikit pula yang percaya bahwa demokrasi identik dengan suatu sistem pemerintahan, sehingga harus menjiplak sistem pemerintahan negara negara maju itu.

Ketika demokratisasi oleh negara negara berkembang ternyata tidak berjalan sebagaimana diharapkan,

setelah mereka mengkopi yang berlaku di Barat dan AS, baru diketahui bahwa demokrasi sebenarnya tidak universal dan juga bukan melulu suatu sistem pemerintahan, tetapi suatu way of life, suatu budaya hidup masyarakat. Corak demokrasi berbeda di tiap negara karena masyarakatnya berbeda.

Seorang guru besar ilmu politik dari Universitas Toronto, Kanada, CB Macpherson, dalam The Real World of Democracy (1965), mengamati ada tiga macam demokrasi, yaitu liberal democracy yang berlaku di negara negara Barat, non-liberal democracy yang pernah ada di Uni Soviet dan negara negara sosialis lain, dan non-liberal democracy yang terdapat di negara negara berkembang. Ketiganya memiliki persamaan dalam hal ada pemilihan umum dan punya legislatif, eksekutif dan yudikatif, tetapi proses pengambilan keputusan dan hubungan kerja antar lembaganya berbeda.

Republik di AS dan di Prancis memiliki demokrasi liberal, tetapi republik di RRC dan Singapura tidak memiliki demokrasi seperti itu. Kerajaan di Inggris, Belanda, dan Swedia, memiliki demokrasi liberal, tetapi kerajaan di Arab Saudi dan Malaysia punya demokrasi berlainan. Kesimpulannya, demokrasi tidak dilahirkan dari sistem pemerintahan, tetapi dari karakter dan budaya masyarakatnya.
Lappe dan Du Bois adalah penulis buku The Quickening of America (1994) yang sekarang sedang banyak dibaca oleh para pengamat politik Indonesia, membuat kesimpulan bahwa demokrasi itu bukan sesuatu “what we have”, seperti sistem pemerintahan, tetapi “what we do”, yaitu bagaimana perilaku atau budaya yang hidup dalam masyarakat.

Sebuah demokrasi harus memenuhi unsur-unsur esensial budaya demok-rasi. Dalam buku tersebut diberikan contoh-contoh perilaku dan keterampilan dalam kehidupan bermasyarakat, dalam media dan dalam pemerintahan, yang diperlukan untuk membangun budaya demokrasi.

Semangat yang Sportif
Menurut Macpherson demokrasi di Barat dilandasi oleh “the society and politics of choice-of competition, -of the market“. Masyarakat negara berkembang yang belum terbiasa dengan kebebasan memilih sesuai keinginan sendiri, bersaing atas dasar kemampuan sendiri, dan kebebasan ekonomi pasar, akan mengalami kesulitan untuk mentah mentah menelan demokrasi ala Barat.

Dalam pada itu, di Barat sendiri sejak beberapa waktu yang lalu, demokrasi liberal telah bergeser menjadi welfare democracy, yang tidak lain adalah negara kesejahteraan, di mana pemerintahnya berkewajiban menjamin kesejahteraan rakyatnya. Harus memberi upah minimum yang tinggi, menyediakan dana bagi pengangguran, melindungi lapangan pekerjaan bagi rakyatnya sendiri terhadap serbuan impor barang murah yang mengancam industrinya.

Mau tidak mau pemerintah harus menjalankan proteksi. Negara kesejahteraan, yang sekarang berlaku di Barat termasuk AS, berpura-pura saja mengajak dunia berdemokrasi dan berpasar bebas.

Dari sekian banyak contoh kehidupan demokrasi, dapat disimpulkan bahwa demokrasi memerlukan prasyarat karakter atau perilaku dasar tertentu dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Yang hakikatnya adalah: menghormati sesama manusia sama dan sederajat dengan hak dan kewajiban yang sama, memiliki keterbukaan hati dan pikiran, menyelesaikan semua masalah bersama melalui dialog tanpa kekerasan dan menghormati hasil yang disepakati, memiliki jiwa yang jujur dan semangat yang sportif.

Keempat karakter atau perilaku dasar tersebut di atas walaupun sederhana, namun realisasinya memerlukan dukungan pendidikan yang cukup tinggi, karena memerlukan landasan rasionalitas yang tinggi. Berdialog dan berdiskusi secara santun dan nalar hanya dapat dilakukan apabila para pesertanya sama sama memiliki kemampuan bernalar yang baik. Tidak itu saja, karena sebuah dialog yang terbuka dan berhasil baik hanya dapat dilakukan apabila masing masing peserta juga berjiwa yang jujur dan bersemangat yang sportif, yaitu berani menerima kelebihan lawan dan mengakui kekurangan sendiri.

Oleh karena itu terwujudnya demokrasi tidak ditentukan oleh sistem pemerintahan yang dianut, tetapi oleh tingkat pendidikan masyarakatnya. Maka untuk mewujudkan demokrasi, Program Wajib Belajar Sembilan Tahun harus mendapat akselerasi. Itu harus tercermin dalam prosentase APBN yang memadai, karena harus dilaksanakan secara gratis.

“Nation and Character Building”
Selanjutnya adalah menggiatkan kembali program nation building dan character building dengan memantapkan kembali proses integrasi nasional untuk menghilangkan rasa kedaerahan, kesukuan dan kelompok keagamaan, serta mengasosiasikan diri sebagai satu bangsa Indonesia.

Sumpah Pemuda haruslah senantiasa dihidupkan dalam jiwa bangsa Indonesia dan menjadi bagian utama nation building. Dalam program character building keempat ciri karakter demokrasi itu harus ditanamkan dan diteladankan dalam kehidupan masyarakat sejak di bangku Sekolah Dasar (SD), sehingga melekat dan tumbuh se-bagai budaya dasar bangsa Indonesia.

Banyak dari kita yang tidak menyadari bahwa inti dari demokrasi adalah jiwa sportif, yang awal tumbuhnya adalah melalui pelajaran olah raga atletik dan permainan di tingkat SD. Oleh karena itu, pembangunan fasilitas sekolah tidak boleh asal-asalan, apalagi tanpa halaman yang cukup untuk berolah raga.

Character building termasuk menanamkan disiplin dan etos kerja yang tinggi, yang banyak di negara maju dibentuk melalui wajib militer dua tahun. Bahkan rakyat Swiss menolak ketika ada referendum untuk menghapus wajib militer karena diperlukan untuk membentuk angkatan kerja yang produktif.

Budaya dasar bangsa Indonesia dicerminkan dalam kelima sila Pancasila. Oleh karena itu dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diamanatkan agar pemerintahan negara dibentuk berdasarkan Pancasila.

Jadi dalam menegakkan budaya dasar bangsa Indonesia yang pertama-tama harus diwujudkan adalah pemerintahan negara yang benar benar melaksanakan ketentuan sila sila Pancasila, yang secara nyata ditampakkan dalam sistem pemerintahan negara, dalam struktur dan kulturnya, dalam pelayanan publiknya dan dalam perilaku para pejabatnya.

Harapan kita terhadap pemerintah, selain tercapainya rekonsiliasi dan konsolidasi nasional serta bangkitnya kembali ekonomi, adalah terwujudnya demokrasi yang berakar dalam budaya masyarakat Indonesia dan dengan aparatur pemerintahan yang benar–benar menjunjung tinggi dan melaksanakan asas-asas Pancasila dalam perilakunya mengabdi rakyat.

Oleh Wahyono SK

MANUSIA MEE DI PAPUA

by Titus Cristoforus Pekei, SH

PEMECAHAN RECORD PELUNCURAN PENERBITAN BUKU MENETAPKAN IDENTITAS DIRI  MANUSIA MEE DI PAPUA PADA MASA ERA TANTANGAN DUNIA GLOBALISASI


Oleh Titus Cristoforus Pekei, SH

***
“Proteksi kondisi masa dahulu, sekarang dan masa depan diatas pedoman hidup”.
******

Mengarahkan dan menyesuaikan diri dalam tantangan perubahan pada masa era global menuju menata menetapkan identitas diri budaya dan adat istiadat manusia mee di papua. Dan sebagai sebuah buku penyelamat identitas diri kehidupan manusia mee, dari kehilangan tantangan dunia globalisasi yang sedang menindihkan dan menghapuslan budaya lokal Mee dari budaya-budaya luar secara global semakin berkembang pesat dan cepat.
 
 
I. LATAR BELAKANG PERKEMBANGAN

Perkembangan perubahan dunia semakin panas dan semakin cepat roda berputarnya dunia era globalisasi untuk menguasai budaya-budaya global terhadap budaya lokal yang masih belum meningkatkan taraf hidup dan menetapkan identitas diri mereka standarisasi dengan era modernisasi. Budaya dan adat istiadat lokal tidak akan berlaku lagi, semakin menindas dan sedang pemprosesan menghapuskan budaya lokal dari budaya-budaya (luar) baru atau budaya global.

Melatar belakangi dengan peluncuran buku manusia mee di papua adalah wahana terbaik bagi kita semua. Baik suku mee itu sendiri untuk mengenal dan mengetahui menguasai apa itu budaya dan adat istiadat ada pada suku mee dulu, kini dan masa depan suku bangsa mee itu sendiri. Dan pada umumnya suku-suku bangsa yang lain untuk memerlukan menata diri menyesuaikan tantangan perubahan dunia globalkisasi. Buku tersebut sebagai jembatan gambaran yang sangat menarik apa itu identitas diri suatu suku bangsa berdasarkan adanya budaya dan adat istiadat pada suku bangsanya sendiri.

Berdasarkan itu; penulis lebih tau harapan-harapan suatu suku bangsa kini menuju ke masa depan atas perkembangan budaya-budaya dunia global dari arah barat menuju ke timur dan dari arah timur menuju ke arah barat. Hal itu sebagai tantangan perputaran penukaran perubahan pergantian hawa budaya suatu suku bangsa tanpa nalar maupun secara nalar. Dalam arti bahwa suatu suku bangsa mempunyai identtas diri berdasarkan evolusi penciptanya, maka atas itu penyesuaian suatu suku bangsa berdasarkan itu atau tidak. Kalau orang yang sudah lebih tau mengenal tentang perubahan-perubahan cuaca budaya dunia global ini, pasti ia menstandarisasi dengan budaya global itu, sedikit demi sedikit budaya yang telah miliki pada sukunya sendiri.

Sama halnya atas peluncuran buku “manusia mee di papua” oleh Titus Pekey, dalam buku ini terkupas terkait secara umum. Maka isi dalam buku itu bukan hanya suku mee saja, tetapi kata-kata pada judul buku dan isi pada buku itu terpukul secara umum suku bangsa manusia sejatai di papua dan manusia sejati yang ada di belahan dunia lain. Sebab; isi dari pada buku tersebut di gunakan dengan kata-kata lazin yang di pake oleh Antropolog-antropolog dunia di dasari pada suatu suku bangsa secara nyata dan yang benar atas di telitinya. Sebagai salah satu buku yang tinjauannya menyelamatkan suatu suku bangsa yang sedang dalam penindasan dan penganiayaan seperti manusia yang tidak punya tata identitas evolusi suku bangsanya di pandang dari budaya-budaya luar.

Tujuan dan arti makna dari pada penerbitan buku tersebut, adalah untuk menetapkan dan menanamkan modal hidup suku bangsa mengarah kehidupan yang lebih aman atas budaya dan adat istiadat mereka.

Penerbitan buku tersebut dapat di artikan sebagai salah satu bahana mengarah ke pembangunan di era global, pembangunan daerah dapat membudayakan sesuai lingkungan kondisi yang ada di daerah itu.

Dapat memaknai pada penerbitan buku itu adalah meneropong dan membuka pintu dari dunia lokal membawa ke dunia internasional bagi suatu suku bangsa menuju menstandarisasi dengan budaya-budaya globalisasi. Dan serta mengkaderasikan anak negeri kedepan berdasarkan budaya dan adat istiadat mereka.

II. JUDUL BUKU “MANUSIA MEE DI PAPUA”

 A. ARTI KATA PADA JUDUL BUKU

Pengertian Judul buku “manusia mee di papua” secara singkat jelas dan tuntas serta dapat di pakai hanya tiga kata, tetapi arti dan makna dari pada judul tersebut berharga dan bermakna secara luas penjelasannya. Bisa sampai terobosan dunia hanya tiga kata saja tersebut.
Atas pengambilan penerbitan judul buku itu bukan karena pengikut jalur semasa, akan tetapi judul tersebut, judul alami bertumbuh dan berkembang hidup bersama dengan si penulis buku itu.

Maka penulis ambil dua kata berkonsonan yang sama dan tinggi Cuma hanya beda konsonan unkapan pemakai kata yaitu; Manusia adalah konsonan ungkapan dan penggunaan dari bahasa indonesia nasional, dan Mee adalaha konsonan ungkapan dan penggunaan dari bahasa daerah lokalitas, sekaligus dengan nama suku bangsa Mee

Manusia dan Mee adalah satu bukan beda, hanya beda karena bahasa nasional indonesia dan bahasa mee lokalisasi suku mee itu sendiri. Dapat di artikan kedalam lagi; bahwa “manusia sejati”. Namun pengambilan judul juga tidak salah, sesuai dengan pengalaman hidup penulis, pada suku bangsa sendiri.

B. PENGGUNAAN BUKU

Secara filosofi judul yang telah di terbitkan dan isinya sangat bermakna dan sangat menarik dapat di manfaat berguna bagi jurusan filsafat humaniora dan jurusan antopologi, sosiologi serta jurusan-jurusan terkait lain umumnya. Sebab judul tersebut adalah sebagai salah satu penyelamat suatu bangsa dari kehilangan identitas diri sebuah suku di tenga tantangan budaya global.

Dan buku ini juga, dapat berguna bagi tim-tim pro mempertahankan diri sebagai dasar pondasi hidup (demokrasi kesukuan), pecinta suku bangsa sendiri untuk membangun dan mengarahkan secara logistic objektifitasnya mengarah ke membangun secara adil dan merata pada suku bangsa itu sendiri. Serta dengan menidentitaskan secara kesejarahan evolusi pada suku itu sendiri, dan juga para mengkaderasi generasi dari kedaerahan lokalistik menuju menata di depan dunia umum.

Paling pokok mendasar pada Buku ini adalah sebagai salah satu menyembuhkan luka batiniah (luka hati dan luka perasaan kesedihannya) pada suku bangsa yang sedang tertindas dan menghapuskan sedikit demi sedikit dari budaya luar lainnya. Gambaran yang sangat memudahkan dan mendukung anda untuk mengikut langkah-langkah mengidentitaskan diri dengan jalur budaya global.

Maka buku ini dapat di uraikan dan dapat di jelaskan pada judul yang telah di terbitkan oleh Titus Pekey sebagai salah satu penyelamatan suatu suku bangsa yaitu suku bangsa mee di papua menguraikan sisi evolusi identitas diri manusia mee di papua itu sendiri.

C. ISI BUKU

Isi buku disini sangat menarik kajian-kajian sosial budaya antropologis dan sosiologis serta tinjauan filosofi humaniora yang sangat menarik bagi pembaca secara umum dan secara khusus bagi generasi menerobos daerah suku bangsa mee paniai papua, suku bangsa papua pada umumnya, dan bagi jurusan yang terkait sebagai gambaran. Sebab dalam buku ini, kajian-kajian semua terkupas dengan tajam. Baik terkupas dari bahasa lokal di terjemahkan dalam bahasa indonesia serta bahasa inggris.

Kata tersebut bukan hanya terkupas daerah suku bangsa mee saja, dia ambil mengupas garis tengah dari semua suku bangsa tinjauan moralitas hidup di suatu suku bangsa itu sendiri. Sebabgai salah satu membuka wahana keberlanjutan bagi kaum minkoritas semua suku bangsa di dunia.

Bab dan halaman buku

Bab dan halaman buku dari pada buku yang telah terbit ini, kami tidak dapat di jelaskan dan kami tidak dapat di uraikan. Maka bab dan halaman buku, ada pada buku itu sendiri.

Menarik perhatian pada isi buku

Menarik perhatian pada isi buku tersebut adalah kutipan-kutipan dan kajian-kajian yang sangat tajam dalam penulisan buku tersebut.

Ia kutipkan kalimat-kalimat yang sudah di akui berbagai tulisan di buku-buku maupun tanggapan-tanggapan melalui wawancara dengan bersama para bergelar Prof. Dr yang terkenal di internasional maupun nasonal di berbagai Universitas di dunia. Dan di daerah lokal adalah orang pencetus budaya lokal dengan tanah baik sudah sekolah mendapat bergelar Drs maupun tidak sekolah pengguna budaya dan adat istiadat itu sendiri. Sebagai mendukung harapan untuk menyelamatkan dan mengarahkan menata identitas diri pada khususnya manusia mee di papua pada era globalsasi ini. Dan terpucuk pada umumnya suatu suku bangsa yang sedang meraja lela untuk mengikuti dan mempromlosi identitas diri di dunia globalisasi ini.

III. PENUTUP

Sebagaimana telah di jelaskan dalam uraiaan tersebut diatas maka, info terlengkap dan lain sebagainya semua ada di tangan penulis buku itu sendiri dan ada dalam penjelasan bab-bab dan halaman pada buku tersebut, penjelasan isi buku lengkap dan akuratnya. Maka siapa mau beli buku tersebut harap kirimkan info terlebih dahulu melalui email :
motamoye@yahoo.co.id
titus_krist@yahoo.com

Sekian atas pengunjung dan pembeli pada buku tersebut kami tak lupa terima kasih. Tuhan Memberkati, Amin.

Yogyakarta, Juni 2008-06-25

Ttd

Penulis

Demokrasi Fundamentalis


Oleh: Yasraf Amir Piliang

Aneka persoalan bangsa menyangkut ekonomi (ketenagakerjaan, perusahaan asing), politik (pemilihan kepala daerah), hukum (penyusunan aneka rancangan undang-undang), keagamaan (keberadaan "ajaran sesat"), dan kebudayaan (pornografi, seni) hampir selalu diselesaikan melalui demonstrasi, kekerasan, dan huru-hara.

Kegagalan negara dalam menciptakan sebuah "ruang dialog" telah menutup rapat "pintu komunikasi" di atas tubuh bangsa ini sehingga amarah menjadi model psikologis dalam penyelesaian setiap masalah dan kekerasan menjadi strategi politik dalam mencapai setiap tujuan.

Dalam konteks proses demokratisasi yang tengah berlangsung, dikuasainya setiap diri oleh nafsu amarah dan politik kekerasan menunjukkan ketidakmampuan bangsa ini membangun "ruang publik" demokratis, tempat aneka persoalan bangsa dibicarakan, didiskusikan, dan diperdebatkan secara terbuka, jujur, adil, dan kreatif. Tidak mampu membangun sebuah "tindak komunikatif" bersama sehingga menyebabkan pintu komunikasi tertutup rapat dan saluran penyampaian pesan tersumbat, yang menyisakan manusia-manusia yang berbicara dengan dirinya sendiri—politics of monologism.

Ruang kehidupan berbangsa kini dibangun oleh ruang, kotak, dan pagar-pagar "eksklusivisme", yang di dalamnya setiap kelompok (sosial, politik, ekonomi, kultural, keagamaan) merayakan ruang-ruang eksklusif sebagai tempat mereka membangun rasa aman dan nyaman secara eksistensial (ontological security), namun dengan cara menutup diri dari bahkan meniadakan pihak-pihak lain (the others). Ini secara paradoks menciptakan sebuah ruang kehidupan berbangsa dan bernegara yang dibangun oleh prinsip "fundamentalisme"—the politics of fundamentalism.

Politik hiperproteksi

Demokrasi dibangun secara internal oleh komponen-komponen bangsa melalui hasrat kelompok (collective desire) yang menggelora tak terbendung—disebabkan kegagalan negara membangun ruang publik—sehingga memuncak pula rasa fundamentalisme, baik fundamentalisme politik, keagamaan, ekonomi, kesukuan, maupun kebudayaan.

Eksklusivisme dibangun di atas dasar fondasi esensialisme sempit yang antidialog, antiperubahan, dan antinegosiasi sehingga menciptakan pandangan buruk terhadap pihak luar yang mengancam. Eksklusivisme merupakan sebuah cara untuk menciptakan semacam Umwelt, sebuah tempat yang di dalamnya setiap orang merasa mendapatkan rasa aman secara eksistensial, khususnya dari ancaman dominansi, ketidakadilan, kesewenangan, dan kekerasan pihak luar, dengan mengembangkan proteksi diri yang berlebihan—hyperprotection.

Esensialisme-sebagai sebuah kecenderungan pemisahan kelompok-kelompok manusia berdasarkan genealogi budaya dan sifat biologisnya—merupakan salah satu fondasi hiperproteksi tersebut, yang melaluinya rasa ketidakamanan ontologis, krisis identitas dan kultural yang akut, ketidakberdayaan akibat represi kultural, serta penderitaan panjang akibat ketidakadilan negara menyebabkan orang menoleh pada akar-akar kultural dan keyakinannya yang dianggap dapat memberikan rasa aman itu.

Esensialisme yang berkembang ke arah ekstrem menggiring pada fundamentalisme dalam pengertian yang luas. Jurgen Habermas di dalam The Inclusion of the Others (1999) menjelaskan "fundamentalisme" sebagai gerakan dalam membangun dunia kehidupan ultrastabil (ultrastability) dengan cara merestorasi aneka cara, keyakinan, dan nilai-nilai fundamental dengan merayakan praktik-praktik intoleransi, eksklusivisme, dan esensialisme. Dalam hal ini, fundamentalisme tidak hanya milik negara-negara terbelakang atau "Timur Tengah", tetapi negara-negara supermaju seperti Amerika Serikat.

Selain itu, tidak hanya ada fundamentalisme agama, tetapi juga aneka fundamentalisme politik, ekonomi, kesukuan, dan kebudayaan. "Fundamentalisme ekonomi ultrakapitalistik" seperti "pasar bebas" berhadap-hadapan dengan "fundamentalisme kesukuan ultra-etnisitas", yang berujung dengan konflik, kekerasan, bahkan kematian (seperti kasus Freeport). "Fundamentalisme keagamaan ultradogmatis" bertemu dengan "fundamentalisme kultural ultraliberalis" yang menimbulkan konflik dan ketegangan dalam aneka persoalan sosial-kebudayaan.

Kelompok fundamentalis yang berhadap-hadapan face to face dengan kelompok-kelompok fundamentalis lainnya menciptakan kantong-kantong "eksklusivitas" (politik, sosial, ekonomi, kultural) dalam demokrasi, yang dihuni oleh orang-orang yang anti-adaptasi, perubahan, dan transformasi; yang tidak berkehendak untuk berbagi, bekerja sama, beraliansi, atau berdialog dengan pihak-pihak lain (partai, agama, suku, kelompok), dengan membangun sikap "pengiblisan" terhadap sang lain—the demonized others.

Demokrasi multikultural

Proses demokratisasi (dan otonomi) yang tidak didukung fondasi kultural yang memadai (toleransi, keterbukaan, dialogisme, inklusivisme) telah mengubah watak demokrasi dari sebuah ruang komunikatif tempat aneka persoalan bangsa diperdebatkan secara terbuka, adil, dan bertanggung jawab, ke arah "ruang fundamentalis", tempat segala persoalan bangsa diselesaikan melalui gejolak amarah dan strategi kekerasan. Terciptalah demokrasi fundamentalis—the fundamentalist democracy.

Fundamentalisme di dalam sistem demokrasi tentu adalah sebuah paradoks. Sebab, fundamentalisme bertentangan dengan prinsip demokrasi itu sendiri. Akan tetapi, kegagalan sistem demokrasi dalam membangun ruang publik, ruang dialog atau ruang komunikasi terbuka, bebas tetapi bertanggung jawab menjadi penyebab utama dari hidupnya "demokrasi fundamentalis" itu.

Dengan perkataan lain, demokrasi telah gagal membangun masyarakat sebagai masyarakat multikultural disebabkan kegagalan dalam menegakkan prinsip "demokrasi multikultural" (multicultural democracy) itu sendiri, yang diperlihatkan oleh ketidakmampuan membangun ruang dialog, toleransi, dan komunikasi yang cerdas dan produktif di antara berbagai kelompok mayoritas dan minoritas sehingga di satu pihak kekuatan dominasi kelompok masih digunakan dalam aneka kebijakan dan tindak sosial; di pihak lain, cara-cara kekerasan masih menjadi satu-satunya senjata kelompok-kelompok minoritas dalam perjuangan haknya.

Kegagalan demokratisasi juga tampak pada tingkat normatif. Dalam wacana pembangunan landasan normatif-hukum, yang mengatur aneka ruang kehidupan (sosial, politik, ekonomi, kultural), ketimbang mampu membangun iklim komunikasi yang bebas, terbuka, tetapi bertanggung jawab, yang dominan justru iklim "pertengkaran" (dispute) tak sehat, tak konstruktif, dan tak kreatif.

Setiap pihak secara keras kepala mempertahankan prinsip fundamentalnya masing-masing yang hampa toleransi. Misalnya, dalam mempertahankan keyakinannya, kaum "fundamentalisme agama" dituduh oleh seniman tidak mau toleran terhadap "kebebasan ekspresi" seni; sebaliknya, dalam merayakan "kebebasan ekspresi" itu, kaum "fundamentalisme seni" juga dituduh tidak mau toleran terhadap keyakinan orang-orang beragama tertentu.

Fundamentalis berhadap-hadapan dengan fundamentalis lainnya face to face, yang menggiring pada situasi "ketakmungkinan aturan bersama" (incommensurability), dalam pengertian aturan formal sebuah kelompok—yang secara keras kepala dipertahankan—tidak mungkin digunakan sebagai aturan kelompok lain yang berbeda.

Satu-satunya jalan keluar dari "ketidakmungkinan aturan bersama" ini adalah menumbuhkan kesadaran dan keterbukaan terhadap prinsip pluralisme dan multikulturalisme yang transformatif. Dalam pengertian bahwa "keamanan eksistensial" yang diinginkan setiap kelompok sosial, politik, ekonomi, dan kultural hanya dapat dibangun apabila dalam membangun rasa aman itu "kemanan eksistensial" pihak lain juga dihormati dan diberi tempat melalui sebuah prinsip toleransi, rasa kebersamaan, dan keadilan (justice) sehingga rasa aman eksistensial itu menjadi "rasa aman bersama"—multicultural democracy.

URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0604/29/opini/2615437.htm

Yasraf Amir Piliang Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD Institut Teknologi Bandung

Thursday, December 2, 2010

Demokrasi Kaum Tarekat

      MANA negara muslim yang paling demokratis di dunia? Malaysia, Indonesia, atau Mesir? Bukan ketiganya, melainkan Senegal, negeri berpenduduk 10 juta orang-92 persen beragama Islam-di Afrika bagian barat. Inilah pendapat Dr. Leonardo A. Villalon, ahli ilmu politik dari Universitas Kansas, dalam Konferensi Internasional tentang Tantangan Demokrasi di Dunia Muslim, di Jakarta, Selasa dan Rabu pekan lalu. Konferensi ini diikuti 50 orang pakar dari berbagai negara, diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Institut Agama Islam Negeri Jakarta, Universitas Ohio AS, dan beberapa lembaga lain. Senegal memang potret yang unik. Negeri ini kecil dan miskin.

Daya beli per kapitanya cuma US$ 1.600-lebih rendah dari Indonesia, yang US$ 2.900. Kemiskinan biasanya menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan, juga berimbas pada rendahnya kultur demokrasi. Namun, menurut Villalon, kasus Senegal memang lain. Negeri itu punya sejarah politik yang khusus, yang mendukung sistem politik yang toleran dan pluralis dibandingkan dengan negara-negara jirannya. Pendapat itu agak berbeda dengan kesimpulan Freedom House, lembaga independen yang mendorong kebebasan dan demokrasi yang diakui dunia akademik. Memuat hasil survei terhadap kondisi kebebasan dan demokrasi di seluruh dunia setiap tahun, Freedom House pada 2001 menyatakan bahwa negara muslim yang paling demokratis adalah Mali. Tentu Villalon tidak sepakat dengan kesimpulan itu.

 Menurut dia, Senegal tetaplah lebih unggul dari Mali. Alasannya, negeri yang melahirkan penyanyi dunia Youssou N'dour itu memiliki sejarah panjang dalam penerapan demokrasi. Sehingga, secara kelembagaan, Senegal lebih tertata dibanding Mali. Lagi pula Mali yang juga miskin itu sedang menghadapi pemilihan presiden pada April mendatang. "Pemilihan itu akan menjadi tonggak demokrasi. Jadi, kita mesti menunggu hasilnya," kata Villalon kepada TEMPO. Sedangkan Senegal sejak merdeka pada 1960 telah menggelar pemilu secara rutin, walau selama 40 tahun partai yang berkuasa selalu sama. Namun, pada dasawarsa 1990, pemerintah mengubah pelaksanaan pemilu ke sistem yang semakin adil dan transparan. Dan ketika pemilu digelar pada 2000, partai oposisi menang dan memerintah. Fakta inilah yang menjadi pertimbangan Villalon jatuh hati pada negeri yang kesebelasan sepak bolanya pada Mei nanti akan tampil pertama kali di Piala Dunia Korea-Jepang itu. Faktor apa lagi yang mendorong kultur demokrasi tumbuh subur? Selain faktor ke-sejarahan yang panjang, antara lain warisan politik jajahan Prancis yang sekuler, Senegal memiliki modal kehidupan religius yang toleran dan pluralis.

Kecenderungan ini adalah pengaruh dari ajaran Tijaniyah dan Qadariyah, dua tarekat utama yang dianut mayoritas penduduk Senegal. "Hampir semua orang di Senegal penganut tasawuf," kata Villalon. Kesertaan dalam ordo tarekat sangat penting di tengah kehidupan nyata di Senegal. Ajaran yang plularis dari para marabout-begitu istilah mursyid dalam bahasa Francophone, Afrika-inilah yang menjadi lahan subur bagi demokrasi. "Ajaran tasawuf ini adalah elemen penting dalam kehidupan berdemokrasi," kata Villalon. Fakta yang tampak, Senegal sangat toleran terhadap kaum nonmuslim, misalnya penganut Kristen, yang berjumlah dua persen. Partai-partai yang berdasarkan agama, kesukuan, dan kewilayahan dilarang. Bentuk negaranya republik dan berwatak sekuler.

Otoritas keagamaan dan otoritas politik saling menghormati. Demokrasi ala Senegal ini ternyata masih merupakan pekerjaan rumah kebanyakan negara yang mayoritas rakyatnya penganut Islam.

Survei Freedom House menyatakan, negara-negara nonmuslim tiga kali lebih demokratis dibandingkan dengan negara-negara muslim. "Ada jurang yang menganga lebar. Sementara negara-negara Barat dan non-Barat berkembang semakin demokratis, negara-negara muslim tertinggal jauh di belakang," kata Adrian Karatnycky, Presiden Freedom House dan koordinator survei.

Ketertinggalan itu, menurut Saiful Mujani, M.A., ahli perbandingan politik dari Universitas Negeri Ohio, AS, disebabkan oleh ber-bagai faktor. Ada negara muslim yang masih mewarisi kultur kesukuan. "Jadi, bila demokrasi tidak tumbuh, itu bukan karena Islam-nya. Itu karena watak kesukuan," kata Saiful.

Faktor lain adalah intervensi militer seperti yang terjadi di Turki dan Aljazair. Faktor alam sebagai sumber pendapatan negara juga berpengaruh. Negara yang kaya karena minyak cenderung tidak demokratis, misalnya Arab Saudi. Rakyat memang tidak dipungut pajak, tapi juga tidak mempunyai hak untuk mengontrol pemerintah. Jadi, kita mau meniru Senegal? K.M.N., Agus Hidayat

Undangan kepada Bangsa Papua untuk Menyumbang bagi Penerbitan Buku-Buku Papua

Dengan ini kami usulkan kepada semua orang Papua di manapun Anda berada agar

memberikan Sumbangan Dana, Pemikiran, Doa dan Tenaga

untuk penerbitan buku-buku terkait dengan West Papua, Tanah dan bangsa Papua untuk mempersiapkan bangsa Papua menuju masa depan sesuai dengan warisan dan peninggalan nenek-moyang, agar generasi sekarang dan mendatang tidak melupakan dan membuang warisan mereka, tetapi sebaliknya menghargai dan membangun dirinya di atas fondasi peninggalan nenek-moyang demi Tanah Papua yang maju, bermartabat, berwibawa dan berisi di tengah bangsa lain di muka Bumi.

Bagi yang hendak memberi sumbangan, silahkan hubungi papuabooks@gmail.com

 

Terimakasih

Telah Terbit - DEMOKRASI KESUKUAN: Suatu Pengantar

Feb 20, 2008 - 2:18:34 PM

Gagasan Sistem Pemerintahan Masyarakat Adat Papua

Buku ini adalah Edisi VIIIa sebagai ‘Suatu Pengantar’ dari gagasan ‘Demokrasi Kesukuan’; yang mengantar sidang pembaca,  tokoh serta Masyarakat Adat Papua kepada pemikiran-pemikiran, wacana dan persoalan-persoalan yang akan diulas dalam Bagian 01

(EdisiVIIIb) sampai Bagian 05 (EdisiVIIIf).

Buku Pengantar kepada wacana gagasan Demokrasi Kesukuan ini memuat jawaban atas sejumlah pertanyaan seperti berikut:

Selengkapnya di SINI