Friday, December 3, 2010

Demokrasi Tanpa Pertentangan Sara

PILKADA enam kabupaten/kota di Lampung digelar serentak hari ini. Bandar Lampung, Metro, Lampung Selatan, Lampung Timur, Way Kanan, dan Pesawaran memilih pasangan calon terbaik.

Sebanyak 32 pasangan calon pun jauh-jauh hari sudah menyiapkan hati untuk kalah atau menang, sesuai dengan komitmen yang mereka sampaikan saat deklarasi pilkada damai dulu. Semoga seluruh calon memegang teguh komitmen itu sebab jika takut kalah, sebaiknya jangan memberanikan diri untuk ikut berkompetisi.

Selama masa sosialisasi yang panjang, sejak setahun lebih plus masa kampanye dua pekan, semua calon telah mengeksplorasi semua daya dan cara untuk menggalang pemilih. Beberapa calon merangkul organisasi massa tertentu, sebagian lagi mendekati unsur-unsur keagamaan. Untuk pendekatan ormas hampir tidak ada masalah sebab biasanya calon berangkat dari ormas-ormas pendukung.

Dari unsur keagamaan juga tidak menjadi persoalan karena seluruh calon berasal dari agama yang sama. Dengan kata lain, kecil kemungkinan bakal terjadi benturan antarormas maupun antaragama.

Isu Etnis

Titik paling sensitif adalah jika calon membawa-bawa isu etnis (kesukuan). Di beberapa daerah ada calon yang merangkul kelompok etnis dari daerah tertentu sebagai massa pendukung. Ini juga sebenarnya masih wajar sebab setiap calon pastilah mempunyai latar belakang etnis tertentu.

Menjadi tidak wajar jika calon atau tim pemenangan secara sadar "membenturkan" etnis satu dengan etnis lain, hanya untuk meraih simpati atau upaya memenangkan pertarungan politik.

Fenomena ini masih dapat kita rasakan dengan jelas dalam Pilkada 2010 sekarang. Bahkan, kadarnya lebih kental dibandingkan dengan sebelumnya dan kerap pula diungkapkan secara gamblang di depan publik. Soal calon pemimpin dari etnis Jawa dan non-Jawa, misalnya, seolah belum bisa dilepaskan dalam pilkada kali ini.

Secara faktual, jumlah penduduk Lampung dari etnis Jawa memang lebih dari 50%. Meskipun demikian, sangatlah tidak berdasar jika sampai ada kecurigaan dari pelaku politik bahwa etnis Jawa hendak menguasai daerah ini. Jika itu benar, Pilgub 2008 tentu sudah dimenangkan calon dari orang Jawa. Kemudian, dari 11 kabupaten/kota yang menggelar pilkada di Lampung, mestinya tidak hanya tiga bupati/wali kota yang bersuku Jawa.

Jadi, dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa orang Jawa di Lampung tidak terlalu peduli apakah pemimpinnya orang Jawa atau bukan.

Jika isu kesukuan, agama, ras, dan antargolongan (sara) masih saja dijadikan komoditas politik, ini jelas sebuah kemunduran dalam berdemokrasi di Lampung. Pilkada dan pilgub terdahulu semestinya menjadi pelajaran amat berharga bagi kita: bahwa pemilih dari etnis A belum tentu memilih calon pemimpin dari etnis A. Begitu juga dengan etnis B, C, D, dan seterusnya.

Secara umum, perbedaan etnis tidak lagi menjadi hal menarik untuk dipertentangkan. Soal ini sudah selesai. Karena itu, elite politik jangan lagi bermain-main di tataran etnis, golongan, dan agama dalam pilkada, baik sebelum maupun setelah hari pemungutan suara.

Demokrasi tidak lagi mengenal perbedaan-perbedaan itu. Yang ada adalah persamaan nasib, yaitu sebagai sesama warga Lampung. Kita hormati pilihan rakyat. Siapa pun pemenangnya, dialah yang terbaik. Selamat memilih. ***
http://lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2010063005552437

No comments:

Post a Comment