MANA negara muslim yang paling demokratis di dunia? Malaysia, Indonesia, atau Mesir? Bukan ketiganya, melainkan Senegal, negeri berpenduduk 10 juta orang-92 persen beragama Islam-di Afrika bagian barat. Inilah pendapat Dr. Leonardo A. Villalon, ahli ilmu politik dari Universitas Kansas, dalam Konferensi Internasional tentang Tantangan Demokrasi di Dunia Muslim, di Jakarta, Selasa dan Rabu pekan lalu. Konferensi ini diikuti 50 orang pakar dari berbagai negara, diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Institut Agama Islam Negeri Jakarta, Universitas Ohio AS, dan beberapa lembaga lain. Senegal memang potret yang unik. Negeri ini kecil dan miskin.
Daya beli per kapitanya cuma US$ 1.600-lebih rendah dari Indonesia, yang US$ 2.900. Kemiskinan biasanya menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan, juga berimbas pada rendahnya kultur demokrasi. Namun, menurut Villalon, kasus Senegal memang lain. Negeri itu punya sejarah politik yang khusus, yang mendukung sistem politik yang toleran dan pluralis dibandingkan dengan negara-negara jirannya. Pendapat itu agak berbeda dengan kesimpulan Freedom House, lembaga independen yang mendorong kebebasan dan demokrasi yang diakui dunia akademik. Memuat hasil survei terhadap kondisi kebebasan dan demokrasi di seluruh dunia setiap tahun, Freedom House pada 2001 menyatakan bahwa negara muslim yang paling demokratis adalah Mali. Tentu Villalon tidak sepakat dengan kesimpulan itu. Menurut dia, Senegal tetaplah lebih unggul dari Mali. Alasannya, negeri yang melahirkan penyanyi dunia Youssou N'dour itu memiliki sejarah panjang dalam penerapan demokrasi. Sehingga, secara kelembagaan, Senegal lebih tertata dibanding Mali. Lagi pula Mali yang juga miskin itu sedang menghadapi pemilihan presiden pada April mendatang. "Pemilihan itu akan menjadi tonggak demokrasi. Jadi, kita mesti menunggu hasilnya," kata Villalon kepada TEMPO. Sedangkan Senegal sejak merdeka pada 1960 telah menggelar pemilu secara rutin, walau selama 40 tahun partai yang berkuasa selalu sama. Namun, pada dasawarsa 1990, pemerintah mengubah pelaksanaan pemilu ke sistem yang semakin adil dan transparan. Dan ketika pemilu digelar pada 2000, partai oposisi menang dan memerintah. Fakta inilah yang menjadi pertimbangan Villalon jatuh hati pada negeri yang kesebelasan sepak bolanya pada Mei nanti akan tampil pertama kali di Piala Dunia Korea-Jepang itu. Faktor apa lagi yang mendorong kultur demokrasi tumbuh subur? Selain faktor ke-sejarahan yang panjang, antara lain warisan politik jajahan Prancis yang sekuler, Senegal memiliki modal kehidupan religius yang toleran dan pluralis. Kecenderungan ini adalah pengaruh dari ajaran Tijaniyah dan Qadariyah, dua tarekat utama yang dianut mayoritas penduduk Senegal. "Hampir semua orang di Senegal penganut tasawuf," kata Villalon. Kesertaan dalam ordo tarekat sangat penting di tengah kehidupan nyata di Senegal. Ajaran yang plularis dari para marabout-begitu istilah mursyid dalam bahasa Francophone, Afrika-inilah yang menjadi lahan subur bagi demokrasi. "Ajaran tasawuf ini adalah elemen penting dalam kehidupan berdemokrasi," kata Villalon. Fakta yang tampak, Senegal sangat toleran terhadap kaum nonmuslim, misalnya penganut Kristen, yang berjumlah dua persen. Partai-partai yang berdasarkan agama, kesukuan, dan kewilayahan dilarang. Bentuk negaranya republik dan berwatak sekuler. Otoritas keagamaan dan otoritas politik saling menghormati. Demokrasi ala Senegal ini ternyata masih merupakan pekerjaan rumah kebanyakan negara yang mayoritas rakyatnya penganut Islam. Survei Freedom House menyatakan, negara-negara nonmuslim tiga kali lebih demokratis dibandingkan dengan negara-negara muslim. "Ada jurang yang menganga lebar. Sementara negara-negara Barat dan non-Barat berkembang semakin demokratis, negara-negara muslim tertinggal jauh di belakang," kata Adrian Karatnycky, Presiden Freedom House dan koordinator survei. Ketertinggalan itu, menurut Saiful Mujani, M.A., ahli perbandingan politik dari Universitas Negeri Ohio, AS, disebabkan oleh ber-bagai faktor. Ada negara muslim yang masih mewarisi kultur kesukuan. "Jadi, bila demokrasi tidak tumbuh, itu bukan karena Islam-nya. Itu karena watak kesukuan," kata Saiful. Faktor lain adalah intervensi militer seperti yang terjadi di Turki dan Aljazair. Faktor alam sebagai sumber pendapatan negara juga berpengaruh. Negara yang kaya karena minyak cenderung tidak demokratis, misalnya Arab Saudi. Rakyat memang tidak dipungut pajak, tapi juga tidak mempunyai hak untuk mengontrol pemerintah. Jadi, kita mau meniru Senegal? K.M.N., Agus Hidayat
No comments:
Post a Comment